Search

Content

Selasa, 08 Maret 2011

TAK BANYAK YANG SEPERTI MEREKA


“Sudah 3 hari, dua tim kami, tim medis dan tim evakuasi terjebak di Betumonga.  Cuaca benar-benar buruk.  Kami berjalan kaki lebih dari enam jam menembus malam.  Dari Sabeugunggung ke Betumonga terus ke Silabu.   Dari Silabu, kami naik ojek 2,5 jam ke Sikakap.  Angin bertiup sangat kencang.  Beberapa pohon besar tumbang dan melintang di jalan.  Dalam suasana gelap, berkali-kali kami turun untuk memindahkan pohon-pohon tersebut.  Medan yang ditempuh pesisir pantai, gunung, rawa, lumpur, dan hutan rimba.”  Ia menjelaskan dengan tenang.  Kemudian, ia diam sejenak mengambil jeda, dan berkata, “Saya sudah jadi relawan jauh sebelum tsunami Aceh terjadi, tapi inilah medan dan cuaca yang paling sulit kami tempuhi!
 
Saya menelan ludah.  Walau belum lama mengenalnya.  Saya tahu persis, dia bukan orang yang mudah mengeluh apalagi gampang menyerah.  Saya benar-benar khawatir, ia akan mengikuti jejak relawan lainnya, ramai-ramai meninggalkan Mentawai, dalam kondisi Mentawai masih luluh lantak.

Sambil bergurau, saya meneguhkan hatinya.  “Wah landskap geografisnya lengkap khan?  Dari gunung sampai pantai, dari rawa sampai belantara.  Kapan lagi punya pengalaman seperti ini?”.  Ia tertawa.  Detik itu juga saya berkesimpulan.  Ia akan bertahan.

Ia masih saja berbicara dengan tenang.  Soal makan siang setelah evakuasi jenazah.  Soal seorang istri yang meraung-raung sedih ketika ia meminta perempuan itu mengidentifikasi jenazah suami dan anaknya yang mulai bau. 
Sambil mendengarkan ia berkisah, tangan kanan saya sibuk mencari dan menelusuri lembaran peta.  Mengamati gambar kepulauan Mentawai.  Walau lahir sebagai orang Sumatera Barat, sungguh, saya tak banyak tahu soal Mentawai.  Kecuali hanya mengetahui ada beberapa orang Mentawai yang berkulit gelap dan berlogat aneh yang migran ke kampung nenek di Pesisir Selatan, Sumatera Barat.  Dan sebagai alumni sebuah perguruan tinggi dari fakultas yang belajar geografi, saya juga tahu jika kepulauan Mentawai rawan gempa dan tsunami.  Hanya itu.

Mr. Jhony, demikian saya memanggilnya.  Asli Indonesia.  Sudah jadi relawan sejak masih duduk di kelas 1 STM, tahun 1994.  Pertama kali ia bertugas di Liwa, Lampung Barat, mengevakuasi jenazah.  Sekarang, Mr. Jhony adalah relawan untuk dua LSM di Indonesia.  Saya mengenalnya pada suatu kesempatan di Bogor dulu.  Dan saya selalu antusias mendengarkan cerita-ceritanya selama terjun menjadi relawan.

Lalu saya menggugat soal ratusan relawan yang pulang, padahal Mentawai masih berdarah-darah.  Ia sabar menerangkan.  “Bagaimana mereka akan bekerja jika otoritas yang berwenang tidak mengkoordinasi?  Kami sibuk mencari, mengidentifikasi, dan membungkus jenazah.  Setelah dilaporkan tiada tindak lanjut?dan belum soal lainnya!”.  Ia menghela nafas.  Oh, soal birokrasi rupanya.

Transportasi juga menjadi kendala.   Relawan-relawan yang datang cukup berpengalaman dan mau bekerja tapi transportasi tidak memadai.  Medannya sulit ditempuh.  “Dan tak ada upaya berarti untuk memfasilitasi kami!”, terangnya lagi.

Tapi relawan-relawan tak menjadikan itu semua sebagai penghalang.  Maka, ia belajar menjadi tukang kayu.  Bersama orang-orang asli Mentawai membuat perahu ukuran 10,5 m x 1,5 m dari kayu bulat utuh.  Sebuah perahu untuk menyeberangi selat sikakap dan berkeliling Kepulauan Pagai.  Melawan ganasnya ombak samudera hindia.  Mengunjungi para korban di wilayah-wilayah yang belum ditempuhi relawan lain sejak gempa dan tsunami.

“Lho, kita khan memang di daerah rawan bencana.  Terlebih-lebih lagi hampir semua daerah rawan bencana kondisi geografisnya memang sulit ditempuhi!”  Saya berkata lagi. .  “Sebenarnya masalah utamanya apa?  Apakah don’t know what to do or there is no instruction from the top.  Saya menyoal soal kurang koordinasi tadi.

‘Nah, itulah masalahnya rahma (nama saya).  Negara kita ini, negara rawan bencana.  Tapi kita sama sekali tak tanggap bencana.  Ada Undang-undang tentang kebencanaan.  Saya yakin biaya sudah habis banyak untuk sosialisasi.  Tapi masih dalam sebatas wacana.  Manajemen bencananya masih lemah”, katanya lagi.

Mr. Jhony menerangkan.  Satu, harus ada sejumlah orang di masing-masing instansi pemetrintah (pusat atau daerah) yang berperan sebagai relawan.  Jadi bukan dari Badan Penanggulangan Bencana, TNI atau PMI saja.  Relawan dari instansi pemerintah itu benar-benar memahami dan terlatih  untuk emergency response.  Jadi ketika ada bencana di daerah manapun, kaum dari kalangan birokrasi sudah tahu apa yang harus dilakukan. 

Dua, pendidikan kebencanaan harus masuk kurikulum nasional.  Semua orang harus dibekali untuk tanggap terhadap bencana yang kerap terjadi di Indonesia.  Gempa, tsunami, gunung meletus, awan panas, longsor, banjir.  Bukan anak sekolah saja, tapi harus semua orang.  Melalui proses pendidikan, dan pembiasaan.  Berulang-ulang.  Sehingga ketika bencana itu datang.  Kita dapat meminimalisir resiko alias korban.

Tiga, pemberian bantuan haruslah tepat.  Tepat bentuknya, tepat caranya, tepat sasarannya dan tentu saja tepat waktunya.  Jangan sampai bantuan membuat korban menjadi tergantung terus menerus pada orang lain, atau bisa-bisa menjadikan mereka manja.  Dan yang lebih penting lagi, tidak semua bantuan harus berupa materil saja.
Apa itu?  Ya, bantuan lain berupa upaya-upaya membangkitkan semangat dan motivasi mereka kembali.  Bahwa bencana itu bukan the end of the world.  Walau nyatanya  iya, wong ada yang semua keluarganya tersapu tsunami dan rumah rata dengan tanah, patah kakinya pula! 

Para relawan menggunakan beragam cara.  Dongeng untuk anak-anak kecil sebagai trauma healing.  Nobar (nonton bareng) film Laskar Pelangi, atau apalah.  Film-film yang sedikit banyak meninggalkan kesan mendalam dan mampu menyusupkan sebongkah atau sekepal motivasi ke dalam hati para pengungsi.  Mengajari mereka membudidayakan tanaman.  Jadi mereka tidak sekedar berburu dan meramu.  Melatih mereka dengan berbagai life skill (keterampilan hidup). Dan membangun rumah-rumah baru pengganti rumah yang habis tersapu gelombang tsunami.

Dan yang paling penting MENDENGARKAN.  Menjadi pendengar yang empati terhadap keluh kesah, duka lara, harapan, cita-cita atau apa saja yang menjadi curahan hati mereka.  Jika memungkinkan, membantu sekuat daya upaya mengantarkan mereka (terutama anak-anak muda) ke arah cita-cita mereka.  Tak peduli, walau para relawan hanya akan mengantarkan hanya sampai pada sekedar membantu membuat rencana dalam hidup anak-anak muda itu.

Mr. Jhony tidak tahu, saya sudah menitikkan air mata sejak tadi.  Terharu dan bangga karena Allah, Sang Maha Penyayang,  menjaga hati dan jiwa para relawan untuk terus bertugas dan melayani.  Sekuatnya.  Sekeras-kerasnya.  Seikhlas-ikhlasnya.  Tanpa mengeluh.  Siang dan Malam.  Resiko: NYAWA.  Dan tentu saja saya juga meneteskan air mata untuk derita para korban.  Sebelumnya, mereka, hampir semuanya, miskin.  Sekarang miskin dan terluka.  Fisik dan mental.  Jiwa dan harta.

“Wah, relawan-relawan itu benar-benar hebat ya!” kata saya.  Tulus.  “Tidak semuanya rahma.”  Ia bercerita bahwa, ada relawan yang bekerja setengah-setengah.  Sukar bangun pagi.  Merokok ketika sedang menenteng mayat.  Jam 10 pagi menghilang untuk ngopi.  Dan yang lebih parah lagi, tidak terampil.  Tidak tahu bagaimana mengevakuasi mayat dengan aman.  Karena mengevakuasi mayat apalagi yang sudah bau, tanpa perlindungan dan cara-cara khusus, justru membahayakan jiwa relawan sendiri.

Manusia memang banyak macamnya.  Yang katanya preman-preman di Jakarta, dengan tattoo di sekujur kulit, ketika menjadi relawan, bisa sangat berdedikasi.  Memasak untuk lebih dari seribu orang dari jam dua dini hari dengan senyum.  Bertugas dan membantu sepenuh hati.  Di sisi lain, banyak relawan yang bertampang alim, justru bekerja tanpa hati.  Atau setengah hati.  Tapi, saya yakin, lebih banyak relawan yang benar-benar ikhlas dan bekerja keras menyelamatkan korban.  Menyelamatkan jiwa.  Menyelamatkan hidup.

“Apakah para korban dan pengungsi itu akan segera bangkit?”  Jika kita bercermin dari para korban awan panas merapi, saya yakin mereka akan segera bangkit.  “Tidak sesederhana itu!”, sanggahnya lagi.  Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi.  Kultur masyarakat.  Masyarakat Merapi adalah  pekerja keras, hidup dalam ikatan komunal yang kuat.  Gotong royong dan toleransi yang pekat.  Semangat yang tak pernah padam.  Belum lagi bicara pendidikan dan pengalaman hidup.  Di tambah lagi, secara geografis, korban merapi, lebih mudah diakses dan dibantu.  Secara terus-menerus.  Berkesinambungan.  Berkelanjutan.

Beda dengan Mentawai.  Kita berbicara kultur, geografis, pendidikan, dan pengalaman hidup yang sangat berbeda!  Inilah tantangan terbesar  kita semua, tidak saja para relawan, untuk membantu mereka agar bangkit dan termotivasi.  Memulai hidup.  Lagi.  Yang baru.  Jika bisa lebih baik lagi.  Aamin.  Saya benar-benar berdoa untuk itu. 

Sayup-sayup saya dengar suara takbir dan tahmid di belakang suaranya di ponsel.  Hari itu, 10 Dzulhijjah 1431 H.  Tepat di hari raya Qurban.  Merayakan iedul adha tanpa keluarganya.  Ia masih di lokasi bencana.  Entah sampai kapan.  “Mungkin setengah tahun”, katanya lagi.  Sampai mereka benar-benar siap untuk memulai hidup kembali.  Saya rasa, Mr. Jhony sudah mengajarkan arti “Ber-QURBAN” yang sesungguhnya.  Izinkan saya menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.  Sungguh, tak banyak orang-orang seperti mereka, seperti Mr. Jhony.

Ditulis Oleh ; Rahma Damayanti  (rahma_ramadhan@yahoo.com)


0 komentar:

Posting Komentar

Sahabat

Artikel Terbaru

Arsip Blog