Sekiranya Anda mengalami kegagalan, tetaplah berbaik sangka kepada Allah. Saya kira Anda menyepakati poin ini. Dan sekiranya Anda mengalami kegagalan yang begitu menyakitkan, selalulah curigai diri Anda sendiri. Mungkin kegagalan itu merupakan sinyal bahwa selama ini Anda kurang sungguh-sungguh dalam pencapaian cita-cita Anda. Anda belum konsisten. Atau mungkin cita-cita itu sendiri masih samar, belum ada deskripsi yang jelas bagi cita-cita Anda. Sekiranya cita-cita itu telah jelas, mungkin saja Anda belum mengoptimalkan potensi-potensi yang Anda miliki. Dengan kata lain, mungkin selama ini Anda belum benar-benar bersyukur. Namun jika Anda telah mengoptimalkan segala kemampuan Anda hingga batas maksimal dan Anda masih gagal juga, toh semua itu merupakan takdir yang Allah tetapkan atas Anda. Namun ingatlah bahwa itu hal itu perlu disikapi dengan bijak, bukan lantas Anda katakan, “Memang sudah nasib saya begini, mau diapakan lagi?” (alias berputus asa).
Kita semua ingin sukses dan tak ingin gagal. Tapi adakah orang yang hidupnya selalu sukses? Adakah orang yang selalu diberi kelapangan dan kesenangan sepanjang hidupnya? Jika Allah menghendaki, bisa saja hal semacam itu terjadi. Tapi Allah Mahaadil. Pasti Dia pergilirkan manusia dengan kesuksesan dan kegagalan, kelapangan dan kesempitan. Hidup ini, kadang menuntut kita ada di bawah dan kadang posisi kita ada di atas.
Orang yang berpikiran dan berhati luas akan selalu mendapatkan hikmah dari berbagai kondisi yang dialaminya. Baginya, sukses tidak selalu merupakan kemuliaan dan gagal bukan selalu merupakan kehinaan. Yang terpenting baginya, dalam keadaan sukses-gagal, senang-susah, lapang-sempit, suka-duka, kaya-miskin, kuat-lemah; dan dalam berbagai keadaan yang selalu berlawanan; dia selalu melihat ada intervensi Allah di sana.
Tepat sekali ungkapan Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam: “Ketika Allah memberimu, maka Dia memperlihatkan belas kasih-Nya padamu. Ketika Dia menolak memberimu, maka Dia memperlihatkan kekuasaan-Nya padamu. Dan dalam semua itu, Dia memperkenalkan diri kepadamu dan menghadapmu dengan kelembutan-Nya.”.
Sering kita terpesona dengan keindahan kata-kata yang keluar dari hati seorang bijak yang mampu ‘membaca’ hakikat kehidupan, sehingga seolah kata-kata itu membuat hati kita mengangguk menyetujuinya. Memang kata-kata itu berkesan. Tapi jangan kita lupa, ada yang jauh lebih bermakna sementara banyak di antara kita melalaikannya, itulah kalam Allah.
Al-Qur’an. “Tiadalah Kami turunkan padamu Al-Qur’an ini untuk menyusahkanmu.” (Thaahaa: 2). Sedangkan manusia itu diciptakan Allah dalam keadaan bersusah payah. Tidak ada manusia yang tak pernah mengalami kesusahan. Seandainya pun ada manusia yang selalu dilapangkan hidupnya, pastilah dia tetap pernah mengalami kesusahan. “Sungguh telah Kami ciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Al-Balad: 4).
Al-Qur’an. Kita yakin bahwa Allah menurunkannya bukan untuk membuat kita jadi susah. Bahkan Al-Qur’an itu penawar bagi penyakit-penyakit di dalam hati, termasuk jika hati kita terasa sempit tatkala mengalami kegagalan.
Dengarkanlah Rasulullah mengajarkan sebuah doa, “Tiadalah seorang hamba tertimpa kesusahan dan problema lalu berdoa dengan membaca: [Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, putra hamba-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu. Berlaku padaku hukum-Mu. Adil untukku ketetapan-Mu. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama milik-Mu yang Engkau berikan atas diri-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau kuasai pada ilmu ghaib di sisi-Mu; jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyubur hatiku, cahaya jiwaku, pelita kesedihanku, penghapus duka lara dan gundah gulanaku.] niscaya Allah akan menghilangkan kesusahannya dan menggantinya dengan kegembiraan.”
Jadi sadarilah, jika kita ingin hidup sukses di jalan kebenaran, kita harus siap dengan berbagai rintangan yang selalu ‘setia’ menghadang di tengah perjalanan. Berbagai rintangan itu tentu harus dihadapi dengan kesabaran dan harapan yang tak pernah pudar. Sangat besar kemungkinannya, kita mengalami beragam kesukaran hidup bahkan kegagalan bertubi-tubi. Kenapa? Karena kita ingin hidup sejahtera dalam keberkahan, sedangkan godaan dunia terus menantang dengan arus materialisme yang dibungkus dalam kemasan modern. Dan godaan setan ‘memaksa’ kita untuk terus bertarung dengan hawa nafsu kita sendiri.
Orang-orang berkompetisi memburu kekayaan, popularitas dan kedudukan. Mungkin kita termasuk orang-orang yang memasukkan poin-poin itu sebagai variabel kesuksesan kita. Memang, tabiat kecenderungan itu tak bisa kita salahkan. Tapi adakah kita ingin jadi Qarun? Atau seperti orang yang berangan-angan memiliki harta Qarun ketika dia menggelar karnaval kekayaannya? Lalu kita pun segera sadar saat Allah membenamkan dia dan hartanya ke dalam perut bumi. Seketika itu, kita koreksi paradigma keinginan kita.
Nasihat lama mengingatkan agar kita melihat ke atas dalam masalah keimanan atau keshalihan dan melihat ke bawah dalam hal kondisi duniawi. Ini sejalan dengan hadits riwayat Imam Bukhari bahwa Rasulullah mengatakan, “Jika seseorang di antara kalian melihat orang yang diberi kelebihan harta dan anak, hendaknya ia melihat orang yang lebih rendah darinya.”
Dalam menghadapi berbagai cobaan kehidupan juga begitu. Sekiranya kita gagal atau mengalami musibah yang tidak menyenangkan, maka hendaknya kita ingat akan Rasulullah SAW, betapa cobaan yang dialaminya lebih berat dibanding cobaan yang ditimpakan kepada siapapun di muka bumi. Singkatnya, bicara soal menikmati kesuksesan dan menelan pil pahit kegagalan adalah bicara tentang rekayasa pain and pleasure (kepedihan dan kesenangan). Ini rekayasa yang penting untuk dilakukan sebagai netralisasi hati atas segala hal yang kita alami dalam hidup ini. Apa itu rekayasa pain and pleasure?
Anda tentu setuju bahwa kegagalan itu pedih rasanya dan Anda pun sepakat bahwa kesuksesan itu menyenangkan. Yang kita bicarakan ini adalah kesuksesan dan kegagalan yang biasa dipahami sebagai tercapai atau tidaknya cita-cita kita, atau dengan kata lain kesuksesan dan kegagalan yang bersifat duniawi. Titik ekstrem bagi orang yang mengalami kesuksesan adalah kesombongan dan lupa diri. Sedangkan bagi orang yang mengalami kegagalan, maka dia akan putus asa dalam menjalani hidupnya. Dua sisi ekstrem itu bisa dicegah atau diobati dengan rekayasa pain and pleasure. Caranya adalah dengan mengalihkan pandangan kepada the real pain and pleasure, kepedihan dan kesenangan yang sebenarnya.
Apa itu pain dan pleasure yang sebenarnya? Itulah derita abadi siksa neraka dan juga sebaliknya kesenangan abadi nikmat surga. Kalau kita mengalami kegagalan atau ujian hidup lainnya yang terasa sangat berat dan menyakitkan, maka ingatlah kesenangan abadi di surga sehingga kita tidak menjadi putus asa. Dan jika kita sukses atau mendapat kesenangan lain, maka ingatlah derita abadi di neraka sehingga kita tidak menjadi sombong dan lupa diri.
Bisa juga berlaku dengan logika sebaliknya. Kalau mendapatkan kesenangan di dunia, maka kita ingat bahwa kesenangan itu belum apa-apa dibanding kesenangan abadi di surga. Dan jika kita mendapatkan kepedihan di dunia, maka kepedihan itu pun tak seberapa kalau dibandingkan dengan derita abadi di neraka. Dengan cara ini, didukung interaksi kita dengan Al-Qur’an, maka kita bisa meraih predikat kebijaksanaan. Dan kita pun bisa menikmati hidup ini setiap saat dan keadaan.
Tulisan : Priyo Sudiyatmoko