Search

Content

Tampilkan postingan dengan label Resensi Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi Buku. Tampilkan semua postingan
0 komentar

Novel Janji - Tere Liye


Kita semua adalah pengembara didunia ini.
Ada yang kaya, pun ada yang miskin.
Ada yang terkenal, berkuasa, juga ada yang bukan siapa-siapa.

Ada yang seolah bisa membeli apapun, melakukan apapun yang dia mau, hebat sekali.
Ada yang bahkan bingung besok harus makan apa.

Tapi sesungguhnya dimanakah kebahagiaan itu hinggap ? Dimanakah hakikat kehidupan itu tersembunyi ? Apakah seperti yang kita lihat dari luar saja ? Inilah Kisah tentang janji

Kita semua adalah pengembara didunia ini. Dari hari ke hari. Dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu kejadian ke kejadian lain. Terus mengembara.

Dan pasti akan menggenapkan janji yang satu ini : mati

-------------------------------------
Novel ini cetakan 1 pada tanggal 1 Juli 2021 dengan no ISBN : 978-623-97262-0-1 dengan ketebalan 488 halaman

Bahar menjadi tokoh utama dalam Novel ini, namun kita berinteraksi dengan Bahar dari sudut pandang cerita tokoh tokoh yang ditemui tiga sekawan yang betugas mencari Bahar. Sepanjang membaca novel ini ada banyak petuah dan kritikan satire khas tere liye. Namun yang lebih dalam lagi di Novel ini kita menemukan bagaimana mencari kebahagiaan adalah hal yang tak mudah, bahagia sejati bukan bahagia yang sebenarnya hanya bumbu materialisme kebendaan.

Pencarian kebahagiaan jika ditemukan, ternyata berujung pada kebermanfaatan, dimana nikmatnya melebihi batas umur usia biologis seseorang karena menjadi inspirasi yang menggerakkan bahkan membawa kepada perubahan komunal.

Tak elok kalau saya memberikan spoiler  dari isi novel ini, biarkan pembaca bisa menyelaminya dengan penuh adukan emosi, kadang marah, geram, sedih bahkan hingga keluar tetesan air mata. Bagi saya sendiri isi novel ini memberikan inspirasi yang dalam. Jangan lupa jika ingin membacanya bisa pinjam atau beli novel aslinya, jangan membeli buku bajakan.



Baca selengkapnya »
0 komentar

Menjalani Hidup Minimalis




Ngeri saat membaca kasus korupsi di Jiwa Sraya , Bansos dll, bisa jadi salah satu penyebab perilaku korup adalah ketamakan, keinginan untuk memiliki terus dan terus
Beberapa tahun yang lalu Saya membaca buku ini, Good Bye Things . Buku tulisan Fumio Sasaki ini bercerita tentang gaya hidup minimalism di Jepang. Menjadi semacam antitesa tentang berusaha mengejar dan terus memiliki barang barang yang menyebabkan keterjebakan pada ketamakan.
Dari membaca buku ini kemudian membuat saya jadi merenung ,memiliki barang tidak terlalu banyak ternyata asik juga, dan memang tidak semua harus dimiliki. Apalagi dikeluarga nomaden seperti keluarga Saya, yang hidupnya masih berburu dan meramu ha ha karena memang selalu berpindah tugas antar kota dan pulau.

Mungkin rasanya seperti backpacker yang membawa barang sekedar dibutuhkan didalam ransel, akan lebih lincah ketika Travelling, keluar masuk bus atau kereta dibanding membawa koper koper berat.
Minimalism juga menjauhkan kita dari pola hidup hedonic treadmil, pacuan yang sebenarnya tidak membawa kita kemana mana. Penghasilan yang seperti terus membesar tapi seolah pengeluaran juga jadi terus membesar, seperti orang yang lari di treadmil.
Minimalism juga mendorong kita untuk lebih banyak waktu bercengkrama dengan keluarga dibanding ngurusin barang, lebih banyak dana yang bisa disisihkan untuk sedekah ,menabung dan berinvestasi, dan bisa lebih fokus pada pekerjaan maupun aktifitas yang menjadi tanggung jawab utamanya.
Kalau ditanya apakah Saya sudah bener bener menjalankan gaya hidup minimalis, ngga juga sih masih belum ideal karena masih suka kalap buat belanja buku, jadi kalau moving antar kota kardus bukunya masih banyak.

Paling tidak karena keinginan untuk minimalis Sy jadi terjauhkan dari keinginan untuk hutang.

Menurut temen temen, gimana nih melihat tentang gaya hidup minimalis? atau malah sudah menjalaninya?
Baca selengkapnya »
0 komentar

Bumi Manusia





Setahun lalu, saat hiruk pikuk rilis film Bumi Manusia, saya tidak terlalu memperhatikan, sekilas hanya melihat di media saat perilisan film. Tadinya saya kira semacam film science fiction , tentang alien atau superhero, ah betapa nda updatenya saya. 
Setelah beberapa saat, baru saya ngeh kalau itu film adaptasi dari novel yang legendaris dari Pramoedya Ananta Toer. Novel yang di tulis dipengasingannya di pulau Buru. Alih alih ingin melihat filmnya, istri yang terlebih dahulu minta untuk membeli novelnya. Novel sudah selesai lama dibaca istri, dan teronggok di rak buku.

Beberapa hari yang lalu barulah saya membacanya, setelah diskusi dengan istri tentang serunya novel tersebut. Sejak pendemi, kuantitas membaca buku jadi lebih banyak memang, buku buku yang belum dibaca akhirnya satu demi satu saya baca. Sinopsis buku Bumi Manusia di tulisan ini lebih ke sudut pandang saya sebagai pembaca, apa yang saya rasakan dan apa yang saya pahami, jadi mohon maaf kalau nanti banyak ngelanturnya.

Novel setebal sekitar 500 halaman ini, membawa saya ke suasana zaman penjajahan Belanda di penghujung tahun 1800an, menjelang pergantian abad. Suasana, sudah sedikit berbeda dari suasana di awal masa penjajahan. Digambarkan saat itu Belanda sudah mulai memfasilitasi pendidikan pribumi, dan didalam negerinya sendiri sudah mulai ada pertentangan pemikiran tentang legalitas penjajahan di bumi Hindia. Ternyata tidak semua orang Belanda sepakat dengan penjajahan di Hindia. Bahkan sampai ada anekdot dikalangan internal orang Belanda, kalau mereka yang menjajah itu sebenarnya tadinya hanyalah petualang yang terbuang dari negerinya, yang kemudian menemukan tanah dinegri sebrang untuk kemudian direndahkan martabatnya demi mendapat keuntungan.

Dibanding kisah percintaan antara Minke dan Annelies, saya lebih menikmati latar sejarah dan pergolakan pemikiran yang menjadi latar kisah Bumi Manusia, Rasialisme sepertinya memang menjadi masalah barat sejak dulu, walau tidak semua barat setuju dengan hal ini. Kisah kasus rasis di Amerika beberapa waktu yang lalu,seperti menggambarkan bara dalam sekam rasialisme barat, ini memang menjadi pekerjaan rumah bagi barat yang terus berkelindan dari dulu sampai sekarang.

Sosok Minke, ditulis Pram seperti seorang yang kalut, bagaimana minke bertemu dengan banyaknya ragam pemikiran ,dari tuntutan  tradisi jawa ningrat yang terus ditagih oleh bunda dan ayahnya, kalangan sekolah HBS, kalangan pemikir liberal Belanda yang bercorong pada pemikiran multatuli, diwakili oleh gurunya yang saya lupa namanya saking sulitnya penyebutan nama sehingga susah saya ingat, pemikiran mantan tentara kompeni asli prancis yang insyaf yang kemudian menjadi sahabat sekaligus seperti kakaknya.

Akhir yang tragis dari Novel Bumi Manusia, bukan berarti menyurutkan arti perjuangan dari seorang Minke, pemuda yang berusia 18 tahunan, (yang kalau saat ini mungkin masih asyik rebahan) tapi harus menghadapi situasi pelik permasalahan didalam keluarga nyai Ontosoroh, sekaligus melawan rasialnya Belanda, wajar sih kan mereka Penjajah. 

Kalau anda belum membaca Novel ini, abaikan tulisan ini,  novelnya jauh lebih seru karena nuansa sejarahnya belum pernah kita jumpai dimata pelajaran PSPB di jaman saya dulu sekolah, ngomong ngomong PSPB kok jadi mirip PSBB ya 
Baca selengkapnya »
0 komentar

Rindu - Sebuah Novel Epik Tere Liye



Sebenarnya bukan kesengajaan saat memilih novel Tere Liye yang berjudul "Rindu" ini, hanya ingin membeli novel karya Tere Liye saja. Ternyata saya suka sekali dengan novel ini, pantas saja saat membaca novel ini sudah cetakan yang ke 44 di bulan Maret 2017. Novel ini diterbitkan oleh Republika, dan di tahun 2015 novel 'Rindu" ini mendapat penghargaan sebagai Buku Islam Terbaik Islamic Book Award 2015.

Novel ini sangat sederhana, hanya menceritakan tentang perjalanan Haji dengan latar tahun 1938 saat Indonesia belum merdeka dan masih menggunakan nama Hindia Belanda. Namun dari kesederhanaan inilah rangkaian cerita demi cerita sangat epik dan seru untuk dinikmati, karena tanpa sadar kita seperti dibawa dalam mesin waktu. Menyelami suasana heroiknya berangkat haji menggunakan kapal dan menikmati suasana kota - kota di Indonesia ditahun tersebut. Sepertinya Tere Liye serius untuk melakukan riset dalam menulis novel ini.

Latar suasana di Makassar dan tokoh tokoh yang terlibat didalamnya membuat saya sangat tertarik untuk mempelajari dan berkunjung ke Makassar. Gelar Andi untuk saudagar bugis, Daeng , Karaeng, yang menjadi panggilan khas dan kehormatan Makassar dll. Kentalnya suasana ke Islaman menjadi kan Sulawesi Selatan salah satu daerah dengan cukup banyak warganya pergi ke Tanah Suci, ini berlangsung sampai saat ini dimana antrian untuk Haji di SULSEL sudah sampai lebih dari 30 tahun. 

Cerita menjadi semakin seru, antara perjalanan berminggu - minggu menuju tanah suci, melewati kota kota pelabuhan di Indonesia, bertemu dengan suasanan perlawanan melawan penjajah Belanda, dan yang menarik dalam novel ini diceritakan bahwa sesungguhnya tidak semua penduduk Belanda setuju dengan penjajahan Belanda di Indonesia.

Novel ini sangat layak untuk dibaca dan juga dibacakan untuk anak-anak kita. Dan karena novel ini pula yang membuat kami tertarik untuk ke Makassar, dan ternyata saat ini kami sekeluarga sudah berada di Makassar.


Baca selengkapnya »
1 komentar

Ketegaran Qian Hong Yan "Gadis Bola Basket"

Qian Hong Yan , Sumber Foto : avaxnews.net

Namanya Qian Hong Yan, seorang gadis kecil yang mewakili semangat ketegaran. Qian mengalami kecelakaan pada tanggal 21 Oktober 2000, kakinya terlindas bus saat melintas saat sedang bermain dengan teman-temannya.. Dokter harus mengamputasi kedua kakinya untuk menyelamatkan nyawanya. Gadis kecil berambut sebahu ini lahir di tahun 1996, Ia tinggal di desa Zhuanxia, Provinsi Yunna, Tiongkok.

Orang tua Qian Hong Yan adalah keluarga petani, sama seperti warga kebanyakan di daerah desa Zhuangxia.  Tinggal di sebuah rumah dengan dinding bata tanpa plester. Ibu Qian yang buta huruf merawat Qian beserta dua orang adik laki-lakinya. Keluarga Qian mempunyai kebun murbei, yang dimanfaatkan daunnya untuk pakan ulat sutra, hasil panen ulat sutra berupa kepompong inilah yang kemudian dijual ke pabrik yang selanjutnya diolah menjadi benang sutra. Hasil penjualan ini masih belum mencukupi untuk menghidupi seluruh keluarga, sehingga ayah Qian masih harus bekerja serabutan di kota Guizhou yang jaraknya puluhan kilometer dari rumahnya.

Tetap Bersekolah

Beratnya kondisi ekonomi keluarga Qian, membuat Qian tidak mampu dibelikan sepasang kaki palsu oleh kedua orang tuanya, sebagai gantinya sebuah bola basket bekas digunakan untuk pengganti kaki palsu ini. Agar bisa bergerak, ayahmya memasangkan bola basket bekas yang dilubangi dan diberi tatakan kayu. Kemudian dua buah pegangan kayu mirip sikat digunakan untuk menyeret tubuh dengan tangan Qian sebagai ganti kaki. Dengan cara ini Qian bisa keluar rumah dan berangkat sekolah.


Qian bersekolah di sekolah normal bersama teman-teman lainnya, jika sedang belajar di letakkannya potongan bola basket penyangga tubuhnya di bawah meja dan duduk dengan menyandarkan bagian tubuhnya ke bangku. Kondisi keterbatasan fisik ini tidak membuat Qian patah semangat dan mengeluh, namun ada saja anak-anak lain yang mengejek Qian dengan julukan "Bocah Bola Basket".

Tidak mudah memang menjalani kehidupan yang keras ini bagi Qian, namun dukungan keluarga dan sang ayah benar-benar melekat dan menanamkan semangat pada dirinya. Tak segan ayahnya menggendong Qian ketika bepergian, dan adik-adik kecilnya juga senantiasa bermain bersama dirinya.




Kaki Baru
Pada tahun 2005, atau sekitar 5 tahun setelah kecelakaan ini terjadi Hong Yan sudah menggunakan 6 buah bola basket, biasanya masing-masing bola basket bertahan sekitar satu tahun sampai akhirnya rusak dan tak bisa di pakai lagi. Dan di tahun 2005 ini kisah Qian Hong Yan mulai banyak diberitakan di media massa Tiongkok, dan dengan pesatnya kemajuan tekhnologi berita ini dengan cepat menyebar. Hampir semua orang yang membaca kisahnya atau menyaksikan video Qian di internet terenyuh, kemudian ia dikenal luas sebagai " Basketball Girl", semua orang kagum dengan gadis kecil ini, kecelakaan itu telah merenggut kakinya tapi tidak semangatnya.




Tak lama setelah publikasi tentang Qian menyebar di seluruh dunia, beragam bantuan dan donasi pun mulai mengalir. Sebagian dana bantuan yang terkumpul lantas dibelikan sebuah kursi roda, kabar baik namun kursi roda masih membatasi mobilitas Qian yang aktif. Kabar gembira kemudian datang dari China Rehabilitation Research Centre, yang datang mengunjungi dan memeriksanya dan kemudian atas rekomendasi dan hasil pemeriksaan dokter dari lembaga tersebut Qian Hong Yan mendapat kaki palsu.

Menjadi Juara Renang

Pada bagian ini saya tidak menceritakan dan menuliskan detail bagaimana proses pelatihan Qian sampai akhirnya Ia menjadi Juara Renang untuk penyandang cacat pada tahun 2009. Qian Hong Yan meraih tiga medali emas sekaligus pada ajang ini. Dengan disiplin tinggi, keteguhan, ketekunan dan semangatnya yang kuat Qian bisa memperoleh semua ini. 



Bayangkan jika seandainya Qian memilih untuk meratapi nasib, dan hidup dengan kemarahan dan penyesalan. Tapi Qian memilih sebaliknya, tetap tersenyum dan terus melanjutkan kehidupannya dengan penuh semangat. Saat ini Qian sedang berjuang untuk mengikuti paralimpiade di Rio de Janeiro pada tahun 2016.

Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, cobalah sejenak tundukan mata dan lihat kedua kaki kita dari ujung jari sampai pinggul, sudahkah kita mensyukurinya ?

Sumber : 
Buku : Kisah Nyata dalam ketidak sempurnaan Qian Hong Yan , Penulis : Nazarurudin Thamrin, Penerbit : Puspa Swara
Foto :














Baca selengkapnya »
0 komentar

Mencerna Buku Self Driving Rhenald Kasali

 Buku Self Driving, sumber foto : Kompas.com


Diberi kesempatan memimpin sebuah tim merupakan sebuah nilai bagi saya, kesempatan untuk belajar dan kembali bertumbuh. Seperti kembali menjalani sekolah formal, yang membedakannya adalah resiko yang lebih terasa nyata dibanding nilai-nilai kognitif berupa angka atau huruf yang selama ini di dapat dibangku sekolah formal.

Saya menyukai tantangan, dan tantangan ketika disodorkan harus bisa terukur dan secepatnya terpetakan untuk berselancar bersamanya. Pertemuan antara kebijaksanaan yang didapat di lapangan dengan teori yang di tuangkan oleh para praktisi dan para ahli.

Oleh karena itu, saya butuh membaca banyak buku, kali ini saat membutuhkan beberapa detail dari solusi masalah yang dihadapkan, saya terpaku dengan sebuah buku yang nampak dideretan buku best seller di salah satu rak buku Toko Buku Togamas Surakarta.

Saya tidak asing dengan sosok Rhenald Kasali, salah satu tulisannya pernah saya muat ulang di blog ini ( baca : Dewasa dengan Kesulitan dan Rintangan) saya cocok dengan beberapa pemikiran pak Rhenald, walaupun tidak semua. Buku ini juga seolah menjadi jawaban dari kegelisahan saya beberapa hari ini, disaat menyelesaikan laporan akhir tahun dan di ambang perencanaan satu tahun kedepan. Bagaimana sebuah organisasi atau perusahaan bertumbuh, selayaknya diikuti dengan pertumbuhan orang-orang yang ada didalamnya. Bagaimana dengan target yang terus bertambah, menjadi semakin padat dan berat untuk di kunyah-kunyah, jangan sampai membuat patah gigi bahkan remuknya geraham di akibatkan selama ini tertipu dengan kunyahan yang manis dan lezat, yang tanpa dirasa menggerus kekuatan gigi dan melemahkan geraham.

Sebuah metafora bahwa sebuah visi dan misi organisasi / perusahaan ketika diterjemahkan dalam target dan rencana strategis bukan untuk ditakuti atau di kangkangi dengan tindakan-tindakan bodoh kamuflase asal mendapat pengakuan dari pimpinan, kerja kaku tanpa kreatifitas, target diakali atau di hindari dengan berbagai macam alasan, mengerikan kalau hal ini terjadi dalam sebuah organisasi / perusahaan, apalagi sebuah negara.

Buku dengan judul "Self Driving" sedikit banyak mengeksplorasi gagasan Rhenald tentang pentingnya mentalitas sebagai seorang Driver, bukan hanya sekedar Passenger. Bagaimana bahwa untuk menggerakkan dan memimpin butuh mentalitas seorang driver  yang siap menghadapi resiko, bayangkan, seorang sopir / driver harus senantiasa awas, senantiasa berpikir dan siap dengan resiko tentu saja resiko yang terukur. Berbeda dengan mentalitas seorang passenger / penumpang, yang senantiasa bisa ngantuk dan duduk manis dibelakang. Dilengkapi dengan tulisan-tulisan beliau di beberapa media massa, aktivitas beliau di Kampus UI dan kunjungan inspiratif beliau di beberapa negara, tentang aktivitas dan pengalaman beliau di Rumah Perubahan.

Gagasan yang provokatif dan kadang meledak-ledak, namun diimbangi juga dengan landasan pengetahuan, ilmu dan riset yang seimbang dari berbagai peneliti. Studi kasus yang real dan renyah untuk dinikmati, dan kadang ditimpali dengan kritik pedas tanpa ampun terhadap sistem. Buku ini cukup membuat saya bersemangat untuk mengunyahnya sampai habis dan membenturkannya dengan kondisi yang saya hadapi, sehingga 272 halaman buku ini sanggup saya habiskan dalam waktu dua hari, di sela aktivitas, sebelum tidur dan selesai di kereta api bengawan yang menggendong saya dalam perjalanan.
 
Terakhir saya kutipkan Tulisan Prof Rhenald di paragraf terakhir
"Melalui buku ini saya berharap kita semakin siap untuk berubah. Dari sekadar menitipkan hidup dan menjadi beban bagi orang lain, menjadi seorang driver. Seorang driver yang harus selalu tanggap, tak boleh sedetikpun mengantuk, apalagi tertidur. Ya, kita semua bertanggung jawab terhadap kepercayaan yang dititipkan pada kita, yang kita kenal sebagai kehidupan. Dan hidup yang indah adalah hidup yang bermanfaat, bermartabat, dan tumbuh."


 
Baca selengkapnya »

Sahabat

Artikel Terbaru

Arsip Blog