Sebagai seorang ayah, saya merasa harus terus menambah kapasitas saya sebagai orang tua, terus membaca dan mencari tahu bagaimana merawat dan menumbuh kembangkan anak-anak dengan baik. Kondisi saat ini yang mengharuskan saya bertemu setiap akhir pekan, membuat saya berfikir keras agar tanggung jawab ke ayahan bisa tetap baik.
Tangah malam ini saya terpaku dengan tulisan Rhenald Kasali, sesuatu yang selama ini sebenarnya sudah saya pikirkan, tapi dijabarkan dengan lebih detail dan terstruktur oleh beliau, kesalahan besar yang hampir pernah dilakukan oleh sebagian besar orang tua, alih-alih menyiapkan anak-anak yang tangguh seringkali justru menumbuhkan anak-anak yang rapuh. Saya
Copy Paste Tulisannya di sini, sumbernya dari
kompas.com (5 April 2014) , Tulisan Rhenald Kasali (@Rhenald Kasali)
Mengapa Anak yang Pintar di Sekolah Bisa Alami Kesulitan Ekonomi?
Seorang mahasiswi
mengeluh. Dari SD hingga lulus S-1, ia selalu juara. Namun kini, di
program S-2, ia begitu kesulitan menghadapi dosennya yang
menyepelekannya. Judul tesisnya selalu ditolak tanpa alasan yang jelas.
Kalau jadwal bertemu dibatalkan sepihak oleh dosen, ia sulit
menerimanya.
Sementara itu, teman-temannya, yang cepat selesai,
jago mencari celah. Ia menduga, teman-temannya yang tak sepintar dirinya
itu "ada main" dengan dosen-dosennya. "Karena mereka tak sepintar aku,"
ujarnya.
Banyak orangtua yang belum menyadari, di balik
nilai-nilai tinggi yang dicapai anak-anaknya semasa sekolah, mereka
menyandang persoalan besar: kesombongan dan ketidakmampuan menghadapi
kesulitan. Bila hal ini saja tak bisa diatasi, maka masa depan
ekonominya pun akan sulit.
Mungkin inilah yang perlu dilakukan
orangtua dan kaum muda: belajar menghadapi realitas dunia orang dewasa,
yaitu kesulitan dan rintangan.
Hadiah orangtua
Psikolog Stanford University, Carol Dweck, yang menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New Psychology of Success, menulis, "Hadiah terpenting dan terindah dari orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan".
Ya,
tantangan. Apakah itu kesulitan-kesulitan hidup, rasa frustrasi dalam
memecahkan masalah, sampai kegagalan "membuka pintu", jatuh bangun di
usia muda. Ini berbeda dengan pandangan banyak orangtua yang cepat-cepat
ingin mengambil masalah yang dihadapi anak-anaknya.
Kesulitan
belajar mereka biasanya kita atasi dengan mendatangkan guru-guru les,
atau bahkan menyuap sekolah dan guru-gurunya. Bahkan, tak sedikit
pejabat mengambil alih tanggung jawab anak-anaknya ketika menghadapi
proses hukum karena kelalaian mereka di jalan raya.
Kesalahan mereka membuat kita resah. Masalah mereka adalah masalah kita, bukan milik mereka.
Termasuk
di dalamnya adalah rasa bangga orangtua yang berlebihan ketika
anak-anaknya mengalami kemudahan dalam belajar dibandingkan
rekan-rekannya di sekolah.
Berkebalikan dengan pujian yang
dibangga-banggakan, Dweck malah menganjurkan orangtua untuk mengucapkan
kalimat seperti ini: "Maafkan Ibu telah membuat segala sesuatu terlalu
gampang untukmu, Nak. Soal ini kurang menarik. Bagaimana kalau kita coba
yang lebih menantang?"
Jadi, dari kecil, saran Dweck, anak-anak
harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, bukan asal
gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, bukan
membuatnya selalu mudah.
Saya teringat masa-masa muda dan
kanak-kanak saya yang hampir setiap saat menghadapi kesulitan dan
tantangan. Kata reporter sebuah majalah, saya ini termasuk "bengal".
Namun ibu saya bilang, saya kreatif. Kakak-kakak saya bilang saya
bandel. Namun, otak saya bilang "selalu ada jalan keluar dari setiap
kesulitan".
Begitu memasuki dunia dewasa, seorang anak akan
melihat dunia yang jauh berbeda dengan masa kanak-kanak. Dunia orang
dewasa, sejatinya, banyak keanehannya, tipu-tipunya. Hal gampang bisa
dibuat menjadi sulit. Namun, otak saya selalu ingin membalikkannya.
Demikianlah, hal-hal sepele sering dibuat orang menjadi masalah besar.
Banyak
ilmuwan pintar, tetapi reaktif dan cepat tersinggung. Demikian pula
kalau orang sudah senang, apa pun yang kita inginkan selalu bisa
diberikan.
Panggung orang dewasa
Dunia orang dewasa itu adalah sebuah panggung besar dengan unfair treatment
yang menyakitkan bagi mereka yang dibesarkan dalam kemudahan dan alam
yang protektif. Kemudahan-kemudahan yang didapat pada usia muda akan
hilang begitu seseorang tamat SMU.
Di dunia kerja, keadaan yang
lebih menyakitkan akan mungkin lebih banyak lagi ditemui. Fakta-fakta
akan sangat mudah Anda temui bahwa tak semua orang, yang secara akademis
hebat, mampu menjadi pejabat atau CEO. Jawabannya hanya satu: hidup
seperti ini sungguh menantang.
Tantangan-tantangan itu tak boleh
membuat seseorang cepat menyerah atau secara defensif menyatakan para
pemenang itu "bodoh", tidak logis, tidak mengerti, dan lain sebagainya.
Berkata bahwa hanya kitalah orang yang pintar, yang paling mengerti,
hanya akan menunjukkan ketidakberdayaan belaka. Dan pernyataan ini
hanya keluar dari orang pintar yang miskin perspektif, dan kurang
menghadapi ujian yang sesungguhnya.
Dalam banyak kesempatan, kita
menyaksikan banyak orang-orang pintar menjadi tampak bodoh karena ia
memang bodoh mengelola kesulitan. Ia hanya pandai berkelit atau ngoceh-ngoceh di belakang panggung, bersungut-sungut karena kini tak ada lagi orang dewasa yang mengambil alih kesulitan yang ia hadapi.
Di
Universitas Indonesia, saya membentuk mahasiswa-mahasiswa saya agar
berani menghadapi tantangan dengan cara satu orang pergi ke satu negara
tanpa ditemani satu orang pun agar berani menghadapi kesulitan, kesasar,
ketinggalan pesawat, atau kehabisan uang.
Namun lagi-lagi orangtua sering mengintervensi mereka dengan mencarikan travel agent,
memberikan paket tur, uang jajan dalam jumlah besar, menitipkan
perjalanan pada teman di luar negeri, menyediakan penginapan yang aman,
dan lain sebagainya. Padahal, anak-anak itu hanya butuh satu kesempatan:
bagaimana menghadapi kesulitan dengan caranya sendiri.
Hidup
yang indah adalah hidup dalam alam sebenarnya, yaitu alam yang penuh
tantangan. Dan inilah esensi perekonomian abad ke-21: bergejolak,
ketidakpastian, dan membuat manusia menghadapi ambiguitas. Namun dalam
kondisi seperti itulah sesungguhnya manusia berpikir. Dan ketika kita
berpikir, tampaklah pintu-pintu baru terbuka, saat pintu-pintu hafalan
kita tertutup.
Jadi inilah yang mengakibatkan banyak sekali orang
pintar sulit dalam menghadapi kesulitan. Maka dari itu, pesan Carol
Dweck, dari apa yang saya renungi, sebenarnya sederhana saja: orangtua,
jangan cepat-cepat merampas kesulitan yang dihadapi anak-anakmu.
Sebaliknya, berilah mereka kesempatan untuk menghadapi tantangan dan
kesulitan.