Satu lagi kisah yang menginspirasi. Kisah tentang Pengajar Muda Indonesia Mengajar bernama Mb Wiwin (Erwin Puspaningtyas Irjayanti) aka Waheeda El Humayra (alumni IPB) yang saat ini ditempatkan di Majene, Sulawesi Barat. Ini bukan kisah dari negeri dongeng, karena ia benar-benar ada.
The Old Man said, Everyday has its miracle. I am not the Old Woman, but I believe it too: EVERYDAY HAS ITS MIRACLE "Kisah ini hadir di layar komputermu setelah seorang guru di SD terpencil berlari-lari riang selama 45 menit sembari membawa parang bersama 3 muridnya yang menggenggam bambu runcing untuk menghalau babi--jika sewaktu-waktu ketemu--menuju "Bukit Harapan", demikian bukit itu diberi nama baru-baru ini karena di bukit itu telah ditemukan sinyal GPRS. Diketik dengan penuh kesabaran di atas keyboard HP Nokia E63, inilah kisah yg ingin diceritakan oleh guru SD terpencil itu:
Tentang Rizki.
Teman-temannya, murid kelas 3, bercerita tentang dia kepada saya: anak itu, namanya Rizki. Rizki Ramlan. 9 tahun. Sejak 4 bulan belakangan, dia tak pernah berangkat ke sekolah. Tanpa alasan. Namun desas desus menyebutkan, bahwa ia malas bangun pagi. Dengan kehadirannya yang tak lebih dari 20 kali dalam 1 semester, teman2nya mengenal ia sebagai anak pandai. Rizki, ia tinggal di Tamaluppu.
Tentang Tamaluppu.
Ialah sebuah tempat yg lebih terpencil dari Passau--tempat terpencil dimana saya tinggal saat ini.
Ini adalah statistik tentang Tamaluppu (T) Vs. Passau (P).
*Jumlah rumah: 13 (T) Vs. 60 (P).
*Listrik: sama sekali tidak ada (T) Vs. genset desa dr jam 19.00-22.00 (P).
*Sinyal GSM: sama sekali tidak ada (T) Vs. Maksimal utk SMS di spot tertentu (P)
*Jarak dari jln.poros Majene-Mamuju: 6-7 km / 1,5-2 jam perjalanan (T) Vs. 3 km / 45 menit perjalanan (P).
*Dapat dicapai menggunakan: hanya dengan jalan kaki dari Passau (T) Vs. Motor, jika tidak turun hujan (P)
Tentang Ide Mengajar di Tamaluppu
Pada hari dimana saya mengemukakan ide bahwa saya ingin seminggu 2x memberi pelajaran tambahan bagi anak-anak di Tamaluppu, banyak orang menganjurkan untuk tidak usah, karena itu jauh, susah, repot. Anak2 Tamaluppu juga lebih pemalu dari anak2 super pemalu di Passau. Buat apa? Kenapa tidak menyuruh mereka saja yang ke sini utk mendapatkan pelajaran tambahan?
Saya bergeming. Hanya tersenyum dan dengan halus menjawab keberatan orang-orang, "saya akan tetap ke sana, meski sendirian."
Tentang Tamaluppu yang Saya Kenal.
Sudah tiga minggu ritual ini berjalan: Jam 3 sore, setiap Selasa dan Jumat, pergi ke Tamaluppu mengajar anak-anak di sana. Kami belajar dimana saja: di rumah Ali (murid kelas 6), di halaman langgar, di bawah pohon kelapa (yg sedang tidak berbuah). Saya mengenang Tamaluppu dalam beberapa potongan memori:
--ialah suatu tempat dimana 8 dari 63 murid saya tinggal. Yang jika hari hujam, dipastikan anak-anak itu tidak akan berangkat sekolah.
--Sebab jika hari hujan, jalan setapak yg sedianya mereka lewati berubah menjadi sungai dan air terjun.
--Anak-anak itu berangkat ke sekolah dengan membawa bambu runcing, sebab di perjalanan dari Tamaluppu menuju Passau, seringkali mereka musti berhadapan dengan babi hutan.
Antara Saya dan Rizki Ramlan
Saya tidak pernah mengenal anak itu. Menyentuhnya. Berbicara dengannya. Saya tidak mampu. Ia begitu tak tersentuh. Begitu jauh. Setiap kali saya berusaha mendekatinya sehabis saya mengajar anak2 Tamaluppu yang lain, ia selalu lari. Menjauh. Mengintai saya dari tempat yang menurutnya paling aman sedunia: persembunyiannya. Saya mengalah. Saya memilih tidak memaksa.
Hingga pada suatu sore yg berhujan deras, yg tak henti-henti sampai petang dan malam tiba, saya memutuskan untuk menerima kesopanan orangtua Ali yg menawarkan saya bermalam di rumah mereka.
Singkatnya malam itu, Rizki yg malu-malu itu, pada suatu kesempatan saat saya habis salat isya, dari balik pintu dia melemparkan: selembar kertas yg bulat karena diremas, dua lembar, tiga lembar, sampai 6 lembar. Lalu, dia lari.
Dia berlari dan menjauh. Tak tersentuh untuk kesekian kalinya.
Saya membuka kertas2 itu. Isinya, membuat saya mematung:
Coretan soal2 matematika yg tiga minggu ini kuajarkan pada anak-anak Tamaluppu, kelas 4, kelas 6.
Di kertas yg lain, coretan soal yg dia buat sendiri, dan dia jawab sendiri. Dan 80% jawabannya adalah benar: materi kelas 4, materi kelas 6. Rizki, kelas 3, sudah 4 bulan tidak masuk sekolah.
Aku tertegun. Mematung.
Dalam nyala obor, aku menulis di sesobek kertas: "Pintar sekali kamu! Sekolah di mana?". Kuremas kertas itu.
Lalu keluar rumah: mencari sosoknya di kegelapan dan menemukannya sedang mengintaiku dari bawah tangga. Kulempar kertas itu di tempat yg terlihat namun agak jauh darinya, lalu pergi seolah-olah yg barusn kulempar adalah sampah.
Tak lama, dari jendela yg sengaja kubuka, masuklah segumpal kertas:
"Tidak sekolah. Tidak ada yang diajarnya. Tidak ada gurunya."
Aku tersenyum. Benar dugaanku bahwa dia akan membalas suratku. Tanpa sempat menutup jendela, aku tertidur. Tak tahu bahwa seorang anak meringkuk di bawah jendela, menanti ada balasan atas segumpal kertas yg dilemparnya. Hanya karena dia berpikir bahwa jendela itu masih terbuka. Ketika pagi, baru aku sadar: jendela terbuka, aku melongok, menemukan tubuh kecil meringkuk di atas bangku dari bambu. Tertidur. Tangannya menggenggam kertas, dan pulpen.
Tentang suatu hari bernama Selasa, 14 Desember 2010, sekira pukul
15.30 WITAHari hampir hujan. 30 menit perjalanan dari Passau sudah saya tempuh. 15 menit lagi, saya tiba di Tamaluppu. Antara ya dan tidak, sembari menatap langit berawan pekat, saya memutuskan melanjutkan perjalanan. Tak sampai 5 menit, hujan turun. Langsung sangat deras. Saya berteduh di bawah pohon jambu mete, bersama kakak angkat saya yang juga guru sukarela, Kak Yani. Semenit, dua menit.
Di kejauhan, di bawah butiran air yg menyamarkan pandangan mata, samar-samar kulihat sesosok bocah. Bertelanjang dada, bercelana yang warnanya seperti coklat. Parang di tangan kirinya, daun pisang di tangan kanannya. Dia mendekat. Semakin dekat dan dia menuju kami. Menuju saya. Mengulurkan daun pisang di tangan kanannya, satu untuk saya, satu untuk Kak Yani.
Aku dan Kak Yani saling bertatapan.
Aku bertanya yg segera diterjemahkan oleh Kak Yani yang intinya, "ngapain kamu di sini? Dari kebun?"
Dia tak menjawab.
Dadanya naik turun. Naik, turun. Naik, turun. Naik turun dengan cepat. Air hujan, mungkin, telah mengaburkan--jika benar--air matanya.
Dia menangis.
Ya, dia menangis.
Lalu, dengan bahasa Mandar yg kacau, saya bertanya, "mangappai i'o sumangiq, Rizki? Mengapa kamu menangis, Rizki?"
Aku mengulurkan tangan. Meraih tubuh basan kuyupnya. Dan untuk pertama kalinya, ia diam. Tak berlari. Tak menjauh. Rizki, akhirnya, aku dapat menyentuh tubuh kecilnya.
Lalu tiba-tiba, Tiba-tiba saja, dia menyambutku. Memeluk pinggangku. Melingkarkan tangannya yang masih memegang parang di pinggangku.
"Puang, yakkuq meloq massikola."
Dalam hujan, dia menenggelamkan kepalanya di perutku, mengalahkan derasnya suara hujan dengan suaranya, "Puang, saya mau sekolah."
Dia memelukku. Erat.
Aku mematung. Haru. Sakit. Sesak. Bahagia. Sesak oleh perasaan bahagia.
Teringat olehku tentang pagi itu, ketika bocah itu masih meringkuk tertidur di bangku bambu bersama segenggam kertas dan pulpen, saat kuletakkan segenggam kertas di dekat kepalanya, "Pergilah ke sekolah. Aku guru di sana. Akan kuajar kau tentang rahasia-rahasia yang ingin kau tahu. Semua rahasia. Pergilah ke sekolah."
Pagi ini, 15 Desember 2010
Kebahagiaan adalah ketika dari jendela rumahm saya melihat anak-anak Tamaluppu tiba di sekolah. Ada Rizki di sana. Dengan seragam kusut robek-robeknya. Saat aku masuk halaman sekolah, ia tengah memegang raket badminton.
Saat ia kutatap, ia melengos. Pura-pura tak melihat. Dia masih malu-malu.
Saat kudekati, ia kembali berlari.
Ia kembali menjauh.
Ia kembali tak tersentuh.
Tapi aku tahu, hari-hari esok, dia akan melemparkan bola-bola kertasnya kepadaku. Lagi. Seperti tadi siang ketika tiba-tiba ia melemparku segenggam kertas, "Kapan Tamaluppu akan mengalami musim salju seperti di Amerika?"
***
Salam hangat dari Bukit Harapan