Search

Content

Tampilkan postingan dengan label Spirits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spirits. Tampilkan semua postingan
0 komentar

Syamsi Dhuha Foundation, Asa untuk terus Berbagi


Apa yang anda lakukan jika di fonis terkena penyakit Lupus? sakit yang seringkali dianggap sebagai musibah.
Tapi tidak bagi Komunitas Syamsi Dhuha yang sekarang bermetamorfosis menjadi Syamsi Dhuha Foundation. Syamsi Dhuha / Mentari pagi. Gabungan dua kata yang mengandung makna semangat, optimisme, dan harapan baru di setiap hari untuk memulai segalanya lebih baik.

Mentari pagi, adalah arti yang coba diterjemahkan Dian Syarief (43) Pendiri Komunitas Syamsi Dhuha, seorang penderita Lupus, dari kosa kata Arab : syamsi dhuha, yang disadur dari firman Allah swt : " Wasy syamsi wa dhuhaha" Demi matahari dan sinarnya di pagi hari. (QS As Syams : 1). 

Dalam situs resminya, http://www.syamsidhuhafoundation.org Keberadaan Syamsi Dhuha pada awalnya memang muncul dari kesadaran diatas. Niat awalnya, Syamsi Dhuha, melalui salah satu programnya "Care For Lupus" ingin membesarkan hati para sahabat ODAPUS (orang dengan Lupus) dan keluarga yang mendampinginya, melalui berbagai aktifitas yang bermanfaat bukan hanya bagi mereka sendiri tetapi juga bagi masyarakat secara luas.  Syamsi Dhuha memiliki cita-CITA  yang lebih besar. Sesuai misinya : "sebagai sarana ladang amal untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat", Syamsi Dhuha bercita-cita untuk memberikan kesempatan pada semua orang, bukan hanya bagiODAPUS, untuk mensyukuri segala karunia yang telah Allah berikan dengan melakukan berbagai aktifitas yang dapat bermanfaat bagi dirinya sebagai pribadi sekaligus juga bagi orang lain.




Sebuah Inspirasi Untuk tetap berbuat dan memberikan yang terbaik, mereka telah melampaui kelemahan yang seringkali dianggap orang sebagai sebuah penghalang. Justru Syamsi Dhuha terus berdaya dan menyebarkan optimisme untuk kehidupan yang lebih baik, bagi siapapun. Dengan program-program yang menarik dan edukatif bahkan Syamsi Dhuha juga sudah memberikan beasiswa bagi beberapa relawannya yang membutuhkan.

Komunitas Syamsi Dhuha sudah berbuat dan mengispirasi, ada dimanakah kita saat ini?

Baca selengkapnya »
4 komentar

Fahma Waluya Rosmansyah, Programer Termuda Dunia



Fahma Waluya Rosmansyah berusia tiga belas (13) tahun, dia tidak berbeda dengan anak-anak usia sebayanya, bersekolah dan bermain. Sejak usia tiga tahun Fahma sudah menyukai aktivitas di depan komputer . Inilah mungkin yang membuatnya kemudian spesial di banding anak-anak seusianya. Pada usia sekarang ini Fahma mendapat penghargaan sebagai programmer termuda versi Ovi Nokia, selain beberapa penghargaan lain seperti Juara 1 the Asia Pasifik Information and Communications Technologi Awards (APICTA), Juara 1 Indonesia Information and Communication Technology Award (INAICTA), bersama adiknya ia juga mendapat SCTV Award, Si Bolang Award, Habibie Award serta berbagai penghargaan lainnya.

Sejak belia fahma terus berkarya, karya pertamanya merupakan buah cinta terhadap adiknya yang saat itu berusia 3 tahun, saat ini Hania Pracika Rosmansyah adik Fahma, sudah berusia 7 tahun. Saat itu ia ditantang ayahnya untuk membuat aplikasi game edukatif agar adiknya dapat belajar sekaligus bermain, melihat sang adik suka sekali main ponsel ibunya. Kemudian ia dibelikan buku dan CD tutorial untuk membuat aplikasi oleh ayahnya. Jadilah sebuah aplikasi yang ia beri nama "My Mom's Mobile Phone as My Sister's Tutor"  (Ponsel Ibuku Untuk belajar adikku). Disini Hania dibuatkan aplikasi tentang mengenal warna, huruf dan angka, dalam proses pembuatannya hania dilibatkan sebagai pengisi suara..

Untuk bisa membuat sebuah aplikasi sederhana, fahma memerlukan waktu hanya kurang dari 5 menit, tapi untuk animasi yang cukup rumit bisa memakan waktu 2-3 hari dengan catatan dia fokus tanpa diganggu aktifitas lain, karena akan  memakan waktu tiga bulan jika ia melakukannya di sela aktivitas sekolah dan lainnya.

Sampai saat ini sudah lebih dari 45 aplikasi sudah Fahma buat, semuanya termasuk aplikasi ponsel, Ipad dan komputer, beberapa aplikasinya bahkan sudah bisa diunduh di OVI Store Nokia. Beberapa aplikasi yang dibuat Fahma :
  1. Enrich (English For Chidren), aplikasi yang memudahkan anak-anak mengenal kata-kata dalam bahasa inggris dasar. Untuk mencoba aplikasi ini silahkan anda bisa klik disini
  2. MANTAP (Math For Kids / Matematika Untuk Anak Pintar) , aplikasi ini menjadikan Fahma memperoleh penghargaan dari NOKIA, APICTA, INAICTA, dan dari MENKOMINFO Tifatul Sembiring. Untuk mencoba aplikasi ini silahkan anda bisa klik disini
  3. DUIT (Doa, Usaha, Ikhlas, Tawakal), sebuah game simulai menabung sederhana, silahkan klik disini untuk mencoba aplikasinya.
  4. Doa Anak Muslim, aplikasi ponsel yang memudahkan anak-anak belajar doa sehari-hari, untuk mencoba aplikasi silahkan klik disini
  5. Untuk melihat lengkap aplikasi,game,animasi comic,dll karya Fahma silahkan kunjungi http://akucintaindonesia.com/fahmahania/ 
Sosok Fahma tidak lepas dari dampingan orangtua, ini menjadi pembelajaran bagi kita pentingnya orang tua mengenalkan sesuatu yang baik pada anaknya, kemudian menstimulasinya. Jika saat ini anda mempunyai putra/putri dan nyaman ketika mereka menghabiskan waktu sengan menonton televisi atau bermain game, cobalah kurangi kebiasaan ini.  Kita bisa tiru usaha ayah fahma yang mengenalkan komputer pada fahma sejak dini. Semoga artikel ini bisa bermanfaat dan memotivasi kita sebagai orang tua untuk mendampingi tumbuh kembang anak-anak dengan situasi dan stimulan terbaik. 

Inspirasi dari Fahma dan Ayahnya : "Kami berharap agar anak-anak Indonesia tidak hanya menjadi penikmat atau pengguna saja, tapi juga berperan sebagai inventor atau pencipta"

sumber ; majalah tarbawi edisi 263, Blog Ibunya Fahma perkembangananak.com
 
Baca selengkapnya »
0 komentar

Belajar Optimis pada Hirotada Ototake

Cobalah lihat tubuh kita, berdirilah didepan cermin kemudian pandangi diri anda mulai dari ujung rambut sampai jari jemari kaki. Lengkap dan sempurna, karena itu bersyukurlah. Kemudian lihat kembali tubuh itu kemudian pandangi wajahnya, sudah mulai adakah guratan yang mulai muncul seiring dengan masalah yang kita hadapi.

Sudah berapa usia anda saat ini? kepala dua (maksudnya dua puluh tahunan ), kepala tiga,empat atau bahkan sudah kepala lima? kemudian pertanyaannya, sampai saat ini apa yang sudah kita lakukan?. Karya apa yang sudah kita lakukan dan manfaat apa yang sudah kita berikan, kepada orang tua, istri, anak , sahabat bahkan manusia secara umum. Menjadi pribadi seperti apa anda saat ini, tercermin dari perilaku yang anda lakukan, pribadi yang kokoh ataukah pibadi yang mudah berkeluh kesah.

Sejenak sedikit kita lupakan cerminan diri kita yang saat ini sedang kita amati, di Jepang sana ada seorang pria bernama Hirotada Ototake ,  dilahirkan Jepang pada 6 April 1976 dalam kondisi menderita tetra-melia, suatu kelainan bawaan yang membuatnya hampir tidak memiliki tangan dan kaki, tolong dicatat ini "hampir tak mempunyai tangan dan kaki, tapi Oto begitu panggilan akrabnya tidak menyerah dengan kondisinya, dia rajin menulis dengan pangkal lengannya, mengikuti lomba maraton di sekolah, bahkan menjadi anggota tim basket sejak sekolah SMP. Sikap hidup Oto yang positif membuatnya meraih sukses dan merasakan kebahagiaan. Oto telah menjadi motivator dunia yang sering menghadiri undangan dari berbagai negara. Buku yang ditulis Oto, berjudul “No One’s Perfect”, berhasil menjadi buku best seller.

Tanpa malu, dia melewati semua tahapan untuk sukses, termasuk menempuh pendidikan formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Layaknya orang normal, usia lima tahun Ototake masuk sekolah TK. Di sini, Ototake menemukan pengalaman yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya. Jika sebelum masuk sekolah Ototake lebih banyak tinggal di dalam rumah, saat itu Ototake harus berinteraksi dengan anak-anak sebayanya. Tak jarang sebagian teman-teman Ototake mengejeknya karena tidak bisa berjalan. Beruntung orangtua Ototake tahu apa yang harus dilakukan. Ayahnya, yang berprofesi sebagai arsitek, tetap mendukung kemauan anaknya untuk hidup normal dan meraih cita-cita.

Seiring berjalannya waktu, Ototake berhasil mengatasi masalah sosialnya. Bahkan, sewaktu duduk di bangku SD,Ototake menjadi kebanggaan tersendiri bagi teman-temannya.”Mereka senang melihat saya yang ke mana-mana harus menggunakan kursi roda elektrik.Mereka juga kagum karena saya bisa menulis dengan pensil yang dijepitkan antara dagu dan lengan,”kenangnya. ”Kehebatan” Ototake berlanjut hingga jenjang SMP dan SMA. Dia sempat beberapa kali dipercaya menjadi ketua organisasi intrasekolah. Dari sini, Ototake kerap mengadakan peristiwa-peristiwa budaya dan sosial. Karenanya tak heran jika sosok Ototake begitu dibanggakan rekan-rekannya, termasuk para siswi. ”Saya adalah siswa yang paling banyak mendapat hadiah cokelat saat perayaan Valentine,” kenangnya (indoforum)

Sekarang kita kembali kediri kita, saya kembali mengulang pertanyaan diatas lengkapkah fisik kita ? jika lengkap ini modal terbaik kita. Sukses adalah definisi yang sangat luas dan masing-masing dari andalah yang mampu mengetahu definisi sukses yang terbaik bagi diri anda. Saatnya kita melakukan yang terbaik kini, kembali menggoreskan sejarah yang kita lalui. Yakinlah anda adalah pribadi yang diciptakan sempurna oleh Tuhan. Lihat kembali dan jangan sia-siakan kesempurnaan ini dengan menjadikan pribadi kita sebagai pecundang. Terus-terus dan terus lakukanlah yang terbaik. Hirotada Ototake sudah mengajari kita akan makna optimisme.





Jika artikel ini bermanfaat silahkan bagikan atau copy paste, dan beri feedback melalui kolom komentar di bawah. Saya sangat senang bisa berkenalan dengan anda
Baca selengkapnya »
0 komentar

Demi Sebuah Pendidikan Mereka Menantang Maut


Bisa dibayangkan, betapa tingginya harapan mereka terhadap pendidikan dinegri ini. Apakah mereka sedang outbond training ? bukan ini adalah jembatan yang tinggal menyisakan kabel-kabel kecil untuk bergelantungan dan meniti, berani-sangat berani sekali mereka. Tidak nampak ada iming -iming hadiah untuk keberanian mereka ini seperti layaknya dalam kuis keberanian, tapi nyawa menjadi taruhan.

Ironi dalam sebuah negri, keberanian dan kejujuran anak-anak ini seolah ingin menampar para petinggi negri ini yang masih disibukkan untuk mengamankan posisi politik, sudah ada yang jadi tersangka saja nda ada sanksi bahkan pemecatan dari partai yang katanya anti korupsi. Bahkan presiden pun bingung, ngurusin rakyat apa ngurusin partainya. Bisa jadi kematian yang disebabkan kelalaian pemerintah ini jauh lebih banyak dibandingkan oleh ledakan bom teroris. Bayangkan saja tiap hari ada saja korban kecelakaan karena jalan berlobang, jembatan ambruk, pesawat jatuh dan banyak lagi. Belum lagi mereka yang kelaparan ataupun sakit yang tidak tertangani.

Mau sampai kapan anak-anak ini dikorbankan ? menjadi tumbal kerakusan pihak dan oknum yang lupa tanggung jawabnya. Saya membayangkan, jika anak-anak ini datang ke Lurah mereka atau ke Camat Mereka atau Bupati Mereka atau Gubernur mereka atau Presiden mereka, "sederhana saja pertanyaanya..apakah bapak atau ibu yang terhormat masih mampu memimpin kami, rakyat Indonesia ?"

Apakah mereka sendirian meniti jembatan ? apakah cuma ada di daerah mereka, maaf  teman-teman kecilku, ada banyak temanmu di belahan negri ini yang bernasib serupa denganmu

Bagi kita apa yang bisa kita lakukan ? jika kita menjumpai kondisi ini dan kita berada di daerah terdekat, lakukanlah langkah nyata, hubungi pemerintah setempat jika belum bergeming tulislah dan undanglah wartawan , kemudian buat alur donasi dan sumbangan dari kawan-kawan kita, suarakan di jejaring sosial.  Hubungi NGO yang konsern dengan hal-hal ini terutama lembaga-lembaga amil zakat. 

Lakukan yang terbaik yang kita mampu, yakinkan pada anak-anak ini dan anak-anak lain yang senasib, bahwa pendidikan sangat penting bagi mereka dan kita bersama-sama akan terus membersamai dengan usaha terbaik kita.

Keterangan Gambar : 

Murid SD Negeri Cicaringin 3, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak, Banten meniti kawat baja menyeberang Sungai Ciliman saat berangkat ke sekolah, Rabu (18/5/2011). Lambannya pemerintah membangun infrastruktur membuat mereka harus rela berjalan kaki sejauh enam kilometer pergi pulang untuk mencapai sekolah dan berisiko terjatuh ke sungai. (http://lab-ane.fisip-untirta.ac.id/2011/05/potret-pendidikan-di-banten/)
Baca selengkapnya »
0 komentar

Asmaa' Mahfouz Wanita Pemberani Pengobar Revolusi Mesir



Jejaring sosial bukan lagi hanya sekedar tempat untuk narsis ataupun sekedar bermain, Jejaring sosial menjelma saat ini menjadi media alternatif disaat media-media konvensional seringkali bungkam. Ya, dengan "sosial network" andalah sumber berita, melalui blog, facebook, dan twitter kita mampu merubah wajah dunia sekalipun. Tentu saja semua mempunyai konsekuensi tanggung jawab di pundak kita, alih-alih membawa perubahan, justru berubah menjadi penipu ulung jika moralitas pemilik jejaring sosial itu sendiri bobrok.


Asmaa' Mahfouz, gadis Mesir ini menunjukkannya. Keberanian dan kelantangannya dia tunjukkan secara terbuka, tanpa identitas palsu maupun nama samaran. Dia tampil secara terbuka, merekam video sederhana di laman facebooknya dan kemudian tersebar secara luas di youtube. Video ini memuat pesan sangat penting dari dirinya, untuk menggerakkan nurani pemuda mesir untuk turun ke jalan berdemontrasi menuntut keadilan dan menggulingkan tiran. Dengan jilbab abu-abu dan berbaju hitam bergaris putih, dia mengajak masyarakat untuk ikut bersama dirinya turun berdemonstrasi dilapangan Tahrir pada 25 Januari 2011. Usianya baru 26 tahun saat itu.

Asmaa'a mulai tahun 2008 sudah terjun didunia pergerakan untuk memerangi ketidak adilan, setelah menyelesaikan pendidikan adminitrasi bisnis di Universitas Kairo. Tadinya, ia bekerja sebagai manajer keuangan di salah satu perusahaan broadband ,yang kemudian ditinggalkannya. Gerakan 6 April menjadi sarana aktualisasinya, sebagai salah satu penggagas. Melalui Facebook, berusaha mengumpulakn dan mengoordinasi dukungan mogok kerja yang dilakukan oleh buruh pabrik EL-Mahala El Kubra pada 6 April 2008. Saat mogok kerja itu benar-benar dilakukan, para pendukung yang berasal dari para blogger, wartawan independen dan aktivis ditangkap dan diperlakukan kasar oleh polisi dan antek rezim Husni Mubarak. Beruntung teman-teman pendukung lainnya berhasil mengumpulkan pengacara dan dukungan keamanan untuk melindungi mereka yang terlibat dalam aksi mogok kerja tersebut.



Bermula dari Gerakan Pemuda 6 April, Asmaa'a dan teman-temannya terus mengasah kemampuan untuk benar-benar menjadi seorang aktivis anti kekerasan, dari pengalamannya ia belajar banyak hal, mulai dari memahami jaringan kerja dan mengalahkan rasa takut ketika melakukan protes melawan rezim. Jaringan terus ditambah sembari tetap mengkoordinasikan dan mengorganisasi demonstrasi kecil. Sebagian besar aksi itu dilakukan melalui jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan blog.


Dalam melakukan aksinya, ancaman dan tekanan dari pihak rezim Husni Mubarak terus dihadapi gadis ini, sehingga sempat membuat khawatir ibunya. Puncaknya adalah saat mencuatnya revolusi Tunisia yang berhasil menjatuhkan rezim yang telah berkuasa selama 23 tahun, hal ini mengispirasi Aamaa' dan rekan aktivis yang lain, bahwa ada harapan untuk menumbangkan rezim ototriter. Disaat tekanan dan ancaman semakin keras menerpa, membuat banyak aktivis menggunakan nama samaran dalam blog atau website mereka. Namun Asmaa'bertindak lain, ia mendobrak semua ketakutan itu dengan merelease videonya pada tgl 18 Januari 2011, tanpa nama sasaran, tanpa topeng untuk menutup wajah. Keberanian dan tajamnya kata-kata darinya mampu membakar semangat pemuda Mesir untuk turun kejalan. Dan hasilnya kita bisa lihat saat ini, rezim Mubarak tumbang, dan situasi politik berupa pemilihan umum menunjukkan keterwakilan tanpa rekayasa.


Dari sini kita bisa melihat dan berbuat, akan seperti apa dan apa yang akan kita lakukan dengan facebook,twitter dan blog kita? 
Baca selengkapnya »
0 komentar

Sekiranya Anda Gagal



Sekiranya Anda mengalami kegagalan, tetaplah berbaik sangka kepada Allah. Saya kira Anda menyepakati poin ini. Dan sekiranya Anda mengalami kegagalan yang begitu menyakitkan, selalulah curigai diri Anda sendiri. Mungkin kegagalan itu merupakan sinyal bahwa selama ini Anda kurang sungguh-sungguh dalam pencapaian cita-cita Anda. Anda belum konsisten. Atau mungkin cita-cita itu sendiri masih samar, belum ada deskripsi yang jelas bagi cita-cita Anda. Sekiranya cita-cita itu telah jelas, mungkin saja Anda belum mengoptimalkan potensi-potensi yang Anda miliki. Dengan kata lain, mungkin selama ini Anda belum benar-benar bersyukur. Namun jika Anda telah mengoptimalkan segala kemampuan Anda hingga batas maksimal dan Anda masih gagal juga, toh semua itu merupakan takdir yang Allah tetapkan atas Anda. Namun ingatlah bahwa itu hal itu perlu disikapi dengan bijak, bukan lantas Anda katakan, “Memang sudah nasib saya begini, mau diapakan lagi?” (alias berputus asa).

Kita semua ingin sukses dan tak ingin gagal. Tapi adakah orang yang hidupnya selalu sukses? Adakah orang yang selalu diberi kelapangan dan kesenangan sepanjang hidupnya? Jika Allah menghendaki, bisa saja hal semacam itu terjadi. Tapi Allah Mahaadil. Pasti Dia pergilirkan manusia dengan kesuksesan dan kegagalan, kelapangan dan kesempitan. Hidup ini, kadang menuntut kita ada di bawah dan kadang posisi kita ada di atas.

Orang yang berpikiran dan berhati luas akan selalu mendapatkan hikmah dari berbagai kondisi yang dialaminya. Baginya, sukses tidak selalu merupakan kemuliaan dan gagal bukan selalu merupakan kehinaan. Yang terpenting baginya, dalam keadaan sukses-gagal, senang-susah, lapang-sempit, suka-duka, kaya-miskin, kuat-lemah; dan dalam berbagai keadaan yang selalu berlawanan; dia selalu melihat ada intervensi Allah di sana.

Tepat sekali ungkapan Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam: “Ketika Allah memberimu, maka Dia memperlihatkan belas kasih-Nya padamu. Ketika Dia menolak memberimu, maka Dia memperlihatkan kekuasaan-Nya padamu. Dan dalam semua itu, Dia memperkenalkan diri kepadamu dan menghadapmu dengan kelembutan-Nya.”.
Sering kita terpesona dengan keindahan kata-kata yang keluar dari hati seorang bijak yang mampu ‘membaca’ hakikat kehidupan, sehingga seolah kata-kata itu membuat hati kita mengangguk menyetujuinya. Memang kata-kata itu berkesan. Tapi jangan kita lupa, ada yang jauh lebih bermakna sementara banyak di antara kita melalaikannya, itulah kalam Allah.

Al-Qur’an. “Tiadalah Kami turunkan padamu Al-Qur’an ini untuk menyusahkanmu.” (Thaahaa: 2). Sedangkan manusia itu diciptakan Allah dalam keadaan bersusah payah. Tidak ada manusia yang tak pernah mengalami kesusahan. Seandainya pun ada manusia yang selalu dilapangkan hidupnya, pastilah dia tetap pernah mengalami kesusahan. “Sungguh telah Kami ciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Al-Balad: 4).

Al-Qur’an. Kita yakin bahwa Allah menurunkannya bukan untuk membuat kita jadi susah. Bahkan Al-Qur’an itu penawar bagi penyakit-penyakit di dalam hati, termasuk jika hati kita terasa sempit tatkala mengalami kegagalan.
Dengarkanlah Rasulullah mengajarkan sebuah doa, “Tiadalah seorang hamba tertimpa kesusahan dan problema lalu berdoa dengan membaca: [Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, putra hamba-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu. Berlaku padaku hukum-Mu. Adil untukku ketetapan-Mu. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama milik-Mu yang Engkau berikan atas diri-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau kuasai pada ilmu ghaib di sisi-Mu; jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyubur hatiku, cahaya jiwaku, pelita kesedihanku, penghapus duka lara dan gundah gulanaku.] niscaya Allah akan menghilangkan kesusahannya dan menggantinya dengan kegembiraan.”

Jadi sadarilah, jika kita ingin hidup sukses di jalan kebenaran, kita harus siap dengan berbagai rintangan yang selalu ‘setia’ menghadang di tengah perjalanan. Berbagai rintangan itu tentu harus dihadapi dengan kesabaran dan harapan yang tak pernah pudar. Sangat besar kemungkinannya, kita mengalami beragam kesukaran hidup bahkan kegagalan bertubi-tubi. Kenapa? Karena kita ingin hidup sejahtera dalam keberkahan, sedangkan godaan dunia terus menantang dengan arus materialisme yang dibungkus dalam kemasan modern. Dan godaan setan ‘memaksa’ kita untuk terus bertarung dengan hawa nafsu kita sendiri.

Orang-orang berkompetisi memburu kekayaan, popularitas dan kedudukan. Mungkin kita termasuk orang-orang yang memasukkan poin-poin itu sebagai variabel kesuksesan kita. Memang, tabiat kecenderungan itu tak bisa kita salahkan. Tapi adakah kita ingin jadi Qarun? Atau seperti orang yang berangan-angan memiliki harta Qarun ketika dia menggelar karnaval kekayaannya? Lalu kita pun segera sadar saat Allah membenamkan dia dan hartanya ke dalam perut bumi. Seketika itu, kita koreksi paradigma keinginan kita.

Nasihat lama mengingatkan agar kita melihat ke atas dalam masalah keimanan atau keshalihan dan melihat ke bawah dalam hal kondisi duniawi. Ini sejalan dengan hadits riwayat Imam Bukhari bahwa Rasulullah mengatakan, “Jika seseorang di antara kalian melihat orang yang diberi kelebihan harta dan anak, hendaknya ia melihat orang yang lebih rendah darinya.”

Dalam menghadapi berbagai cobaan kehidupan juga begitu. Sekiranya kita gagal atau mengalami musibah yang tidak menyenangkan, maka hendaknya kita ingat akan Rasulullah SAW, betapa cobaan yang dialaminya lebih berat dibanding cobaan yang ditimpakan kepada siapapun di muka bumi. Singkatnya, bicara soal menikmati kesuksesan dan menelan pil pahit kegagalan adalah bicara tentang rekayasa pain and pleasure (kepedihan dan kesenangan). Ini rekayasa yang penting untuk dilakukan sebagai netralisasi hati atas segala hal yang kita alami dalam hidup ini. Apa itu rekayasa pain and pleasure?

Anda tentu setuju bahwa kegagalan itu pedih rasanya dan Anda pun sepakat bahwa kesuksesan itu menyenangkan. Yang kita bicarakan ini adalah kesuksesan dan kegagalan yang biasa dipahami sebagai tercapai atau tidaknya cita-cita kita, atau dengan kata lain kesuksesan dan kegagalan yang bersifat duniawi. Titik ekstrem bagi orang yang mengalami kesuksesan adalah kesombongan dan lupa diri. Sedangkan bagi orang yang mengalami kegagalan, maka dia akan putus asa dalam menjalani hidupnya. Dua sisi ekstrem itu bisa dicegah atau diobati dengan rekayasa pain and pleasure. Caranya adalah dengan mengalihkan pandangan kepada the real pain and pleasure, kepedihan dan kesenangan yang sebenarnya.

Apa itu pain dan pleasure yang sebenarnya? Itulah derita abadi siksa neraka dan juga sebaliknya kesenangan abadi nikmat surga. Kalau kita mengalami kegagalan atau ujian hidup lainnya yang terasa sangat berat dan menyakitkan, maka ingatlah kesenangan abadi di surga sehingga kita tidak menjadi putus asa. Dan jika kita sukses atau mendapat kesenangan lain, maka ingatlah derita abadi di neraka sehingga kita tidak menjadi sombong dan lupa diri.

Bisa juga berlaku dengan logika sebaliknya. Kalau mendapatkan kesenangan di dunia, maka kita ingat bahwa kesenangan itu belum apa-apa dibanding kesenangan abadi di surga. Dan jika kita mendapatkan kepedihan di dunia, maka kepedihan itu pun tak seberapa kalau dibandingkan dengan derita abadi di neraka. Dengan cara ini, didukung interaksi kita dengan Al-Qur’an, maka kita bisa meraih predikat kebijaksanaan. Dan kita pun bisa menikmati hidup ini setiap saat dan keadaan.
Tulisan : Priyo Sudiyatmoko
Baca selengkapnya »
0 komentar

Spirit Kecepatan



“Pilihan hidup kita sangat terbatas. Kita hanya memiliki kesempatan yang sedikit. Waktu hidup kita hanya beberapa puluh tahun, sementara kita bisa merasakan betapa cepat waktu berlalu. Sepuluh tahun rasanya sangat cepat, seperti hanya sehari dua hari saja”, kata seorang teman kepada saya. Ini merupakan pilihan pertama. Sebuah pilihan cara memahami dan menikmati kesempatan dalam kehidupan. Ternyata pilihan kita tidak banyak, maka harus segera mengambil dan memanfaatkan kesempatan. Jangan terlalu banyak berpikir, berdiskusi dan menimbang. Kita dituntut untuk mengambil keputusan dengan cepat, tidak boleh berpikir terlalu lama. Berhanti berarti mati, terlambat artinya tidak sama sekali. 

“Kita memiliki pilihan hidup yang tidak terbatas. Waktu hidup kita secara personal memang terbatas, namun ide dan visi kita jauh melampaui batas usia kemanusiaan yang kita miliki. Maka jangan gegabah mengambil keputusan, pikirkan masak-masak, agar tidak menjadi penyesalan karena kurangnya pertimbangan dalam mengambil keputusan”, kata seorang teman pula kepada saya. Ini merupakan pilihan kedua dalam cara memahami dan menikmati kesempatan dalam kehidupan. Bahwa kesempatan itu terbuka seluas-luasnya, selalu ada kesempatan kedua dan seterusnya. Jangan mengambil keputusan di bawah tekanan keadaan yang memaksa, karena pasti akan kurang pertimbangan.

Boleh saja kita memilih yang mana, karena pasti ada argumen yang melatarbelakanginya. Ada situasi dan kondisi yang menyebabkan kita memahami dan menikmati kesempatan dalam kehidupan dengan cara yang tidak sama. Sesekali waktu kita harus bertindak cepat, bahkan sangat cepat. Ada kondisi yang menyebabkan kita harus melakukan sesuatu dengan cepat, tanpa banyak pertimbangan dan pemikiran lagi. Kesempatan mungkin tidak akan terulang lagi, mungkin hanya sekali ini.

Seorang teman menceritakan kisahnya saat harus mengambil keputusan dengan cepat. Tanpa dinyana dirinya mendapatkan fasilitas green card dari pemerintah Amerika. Ia kaget karena merasa tidak pernah apply untuk mendapatkan green card Amerika. Ternyata ada saudaranya yang secara asal memasukkan nama dirinya untuk mendapatkan green card Amerika, dan berhasil. Ia dipanggil ke Kedutaan Besar Amerika di Jakarta untuk wawancara. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya untuk tinggal menetap di negara Amerika, namun sekarang ada kesempatan, dan tentu saja ini sangat jarang.

Jika ia tidak berangkat wawancara, berarti kesempatan itu hilang begitu saja. Namun jika ia berangkat wawancara, sesungguhnya ia tidak pernah punya orientasi untuk keluar dari Indonesia. Waktu sangat terbatas. Hanya sehari semalam ia harus memutuskan, apakah besok berangkat wawancara atau tidak. Tentu ia tidak memiliki banyak kesempatan untuk menimbang, bertanya, berdiskusi, atau bermusyawarah dengan banyak pihak. Ia dituntut untuk segera mengambil keputusan, apakah akan mengambil green card Amerika atau dilewatkan saja kesempatan yang sangat langka ini.

Dengan bismillah ia memutuskan datang wawancara, dan akhirnya mendapatkan green card Amerika. Hingga sekarang ia menetap di Amerika bersama keluarga, dari sebuah kejadian hidup yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bukankah dalam contoh kejadian itu, kesempatan kita memang sangat terbatas ? Kita benar-benar merasa tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir dan meminta banyak masukan dari sahabat dan keluarga. Kita harus mengambil keputusan untuk masa depan kita sendiri. Disinilah seni menjadi pemimpin atas diri sendiri, bahwa saat mengambil keputusan, kita hanyalah seorang diri. Ya kita menjadi orang yang “kesepian” karena tidak ada teman, saat harus memutuskan masa depan kita sendiri.

Namun ada pula kesempatan yang bisa berulang dan kita memiliki cukup banyak waktu untuk memutuskan pilihan. Saat anak saya lulus SMA, ia mengikuti SNMPTN tahun 2011 dan berhasil diterima di Unpad Bandung. Namun sembari menunggu hasil SNMPTN, ia juga mengikuti seleksi di Undip Semarang dengan jalur mandiri. Ternyata dua-duanya diterima. Bahkan sebelumnya ia juga mengikuti seleksi di sebuah universitas swasta dan dinyatakan diterima. Ada sangat banyak waktu baginya untuk menimbang, apakah akan memilih kuliah di Unpad atau Undip, atau di universitas swasta. Saya sampaikan kepadanya, bahkan seandainya dia tidak mau memilih sekarang, tahun depan ia masih memiliki kesempatan. Namun ia telah memutuskan mengambil sebuah pilihan.

Kadang kita bertemu peristiwa hidup yang “terduga”, karena bisa direncanakan, dan ada waktu untuk mengulang di lain kesempatan. Perhatikan saja perhelatan pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden RI. Ada banyak tokoh yang muncul dalam beberapa kali proses pemilihan Presiden, sejak tahun 2004, tahun 2009 dan nanti di tahun 2014. Artinya, untuk contoh seperti ini ada banyak kesempatan untuk menimbang, apakah akan ikut sekarang atau lima tahun mendatang. Momentum politik dan keberuntungan sangat perlu dipadukan untuk mengambil keputusan dengan berhati-hati.

Namun kadang kita bertemu peristiwa hidup yang “tidak terduga”, dan diluar perencanaan, sehingga waktu kita sangat terbatas untuk segera mengambil keputusan. Pada kondisi seperti ini, tentu sangat wajar jika keputusan yang diambil kurang mendapatkan banyak masukan dan pertimbangan dari banyak kalangan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kedua peristiwa tersebut selalu terjadi, dan diperlukan kearifan para pemimpin untuk menentukan apakah harus mengambil keputusan cepat, atau masih ada waktu untuk menundanya. Ada peristiwa yang memerlukan tindakan sangat cepat, dan ada peristiwa lain yang tidak memerlukan kecepatan tindakan.

Misalnya, dalam memberantas korupsi diperlukan tindakan dan aksi yang cepat agar tidak menjalar dan semakin parah kondisinya. Namun dalam memberikan statemen publik, tidak memerlukan kecepatan. Karena kalau semua peristiwa dikomentari dengan cepat, justru akan menimbulkan kesan reaktif dan reaksioner. Kesannya menjaga imej, menjaga citra diri, dan upaya bersih diri. Sebentar sebentar komentar, sebentar sebentar konferensi pers, sebentar sebentar menyebar rilis ke media. Jika pemimpin sangat reaktif dalam memberikan statemen publik, justru bisa berdampak kontra produktif.

Dalam menanggulangi kemiskinan dan pengangguran, diperlukan program dan aksi yang cepat, agar tidak menjadi patologi sosial yang semakin membahayakan. Namun bentuk dari “program cepat” ini bukanlah semata-mata membagi-bagi uang setiap bulan kepada orang miskin. Karena khawatir disebut lambat, maka langsung membuat program “cash anda carry” berupa pembagian jatah uang bulanan bagi orang miskin. Tentu saja uang itu bermanfaat, namun tidak akan menyelesaikan persoalan kemiskinan dalam jangka panjang. Apalagi jika sekedar membagi nasi bungkus gratis setiap hari. Itu baru menyelesaikan problem sesaat, belum menyentuh akar persoalan.

Dalam kehidupan pribadi kita, sering kita jumpai peristiwa kehidupan yang harus segera kita eksekusi, tidak bisa berlama-lama. Namun banyak pula peristiwa yang memberikan kesempatan kepada kita untuk merespon dengan cermat, karena ada banyak waktu yang tersedia dan bisa menimbang dengan seksama. Kitalah yang menjadi eksekutor, apakah sebuah peristiwa harus disikapi dengan cepat, atau bisa disikapi dengan lambat. Tingkat kesalahannya bisa sebanding, antara kesalahan karena terlambat menentukan keputusan, dengan kesalahan karena terlalu cepat mengambil keputusan. Tergantung konteks kejadian yang sedang dialami dan tingkat kemendesakan dari keputusan yang harus diambil.

Inilah seni kehidupan. Sulit diteorikan. Ada yang harus cepat, ada yang harus lambat. Anda yang harus mengambil pilihan, karena resiko dari kecepatan dan kelambatan itu semua harus anda tanggung sendiri. Berdoalah selalu untuk meminta bimbingan Tuhan, agar secepat apapun dan selambat apapun keputusan anda ambil, semua dalam bimbingan Tuhan.

(Kalau minum teh poci, saya suka lambat. Tidak mau cepat cepat. Karena poci adalah seni menikmati teh, bukan sekedar minum).

Pancoran Barat, 23 Juli 2011
Baca selengkapnya »
0 komentar

Semua Kesungguhan Akan Menjumpai Hasilnya



Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan. Kadang kita mengalami peristiwa hidup tidak seperti yang kita inginkan, bisa jadi salah satu penyebabnya adalah kurangnya kesungguhan dalam menggapainya. Kita terlalu santai, atau pasrah sebelum bekerja keras mencapai cita-cita.

Cobalah sedikit kita tengok kesungguhan orang-orang Hollywood bekerja menghasilkan karya film. Kesungguhan mereka tampak dalam besaran biaya yang dikeluarkan untuk proses pembuatan film, dan tampak pula dari kualitas produk yang dihasilkan. Kita tercengang melihat kesungguhan insan perfilman Hollywood yang mudah sekali menghamburkan dana ratusan juta dolar Amerika, demi memuaskan ambisi mereka. Padahal, dari keseluruhan usaha dan kesungguhan tersebut, hasilnya hanyalah : sebuah film !

Ya, film berdurasi dua jam. Diputar di bioskop dan layar televisi. Sekali orang menonton, mungkin ada yang mengulang menonton sekali lagi. Setelah itu bosan, tidak akan mengulang menontonnya lagi. Seluruh kesungguhan tim dalam menggarap sebuah film, mengeluarkan dana ratusan juta dolar Amerika, dan hasilnya hanyalah panggung hiburan. Hanya film. Sebuah khayalan, sebuah ketidakseriusan, ketidaksungguhan, karena bernuansa fiksi walau diangkat dari kisah nyata yang pernah ada.

Coba kita perhatikan. Film Avatar menjadi film paling mahal yang ada saat ini. Film yang diproduksi James Cameron ini menghabiskan biaya 500 juta dolar Amerika untuk pembuatannya. Berikutnya adalah film Pirates of the Caribbean: At World’s End buatan Gore Verbinski, menghabiskan biaya 300 juta dolar Amerika. Peringkat ketiga adalah film Spiderman 3 produksi Sam Raimi, menelan biaya produksi 258 juta dolar Amerika.

Peringkat keempat adalah film Pirates of the Caribbean: Dead Man’s Chest buatan Gore Verbinski, memerlukan biaya 225 juta dolar Amerika. Peringkat kelima adalah film X-Men: The Last Stand produksi Brett Ratner yang menghabiskan dana 210 juta dolar Amerika. Setelah itu barulah film Titanic. Film produksi James Cameron tahun 1997 ini menghabiskan biaya 200 juta dolar Amerika, padahal pembuatan kapalnya sendiri “hanya” memerlukan 123 juta dolar Amerika pada masanya.

Pada contoh film Avatar, biaya produksi 500 juta dolar Amerika dianggap kecil, karena sampai dengan awal tahun 2010 kemarin telah menghasilkan uang US $ 1,840,797,418. Fantastik, baik dana pembuatan maupun hasil yang didapatkan dari pemutaran film Avatar di seluruh dunia, selama setahun saja. Dari modal US $ 500 juta, hanya setahun di pasaran, sudah kembali US $ 1,8 M.

Coba kita rupiahkan, dengan kurs US $ 1 sama dengan Rp 8.600. Biaya pembuatan film Avatar adalah Rp 4.300.000.000.000 atau 4,3 trilyun rupiah. Bisakah kita hitung, proyek dakwah apakah yang bisa dibiayai dengan 4,3 trilyun rupiah ? Proyek kebaikan apa saja yang bisa dihadirkan dengan sediaan dana 4,3 trilyun rupiah ? Mimpi apa saja yang bisa terwujudkan oleh dana sejumlah itu ? Cobalah kita buat proposal untuk menghabiskan dana pembuatan film Avatar itu. Ternyata mereka habiskan begitu saja demi membuat hiburan bernama film.

Di Hollywood, dana 4,3 trilyun rupiah ternyata hanya diwujudkan dalam sebuah tayangan berdurasi sekitar 2 jam. Ya, hasilnya hanyalah film, hanya hiburan, hanya khayalan, hanya ketidaksungguhan. Padahal prosesnya sangat bersungguh-sungguh, namun hasilnya berupa hiburan dan tontonan saja. Kita sering mendengar keluhan sulitnya menghadirkan tuntunan, karena tidak ada yang serius membiayai, sedangkan untuk tontonan begitu mudah orang mengeluarkan biaya.

Dengan kurs yang sama (kita samakan kurs-nya sekedar untuk memudahkan penghitungan), kita bisa menghitung produksi film Titanic menghabiskan biaya Rp 1.720.000.000.000, atau 1,72 trilyun rupiah. Dana itu juga dianggap murah, karena sampai awal tahun 2010 telah mengeruk keuntungan sebesar US $ 1,835,300,000 atau sama dengan Rp 15.783.580.000.000, yaitu sekitar Rp 15,8 trilyun.

Jika kita ambil sampel enam film itu saja, total biaya produksinya mencapai US $ 1.693.000.000, atau sekitar Rp 14.559.800.000.000. Ya, 14,5 triliun rupiah hasilnya hanyalah enam buah film, enam tontonan, enam hiburan. Uang dalam kisaran Rp 14 triliun, apakah yang bisa dilakukan di Indonesia dengan uang sejumlah itu ? Coba kita tengok salah satu program pemerintah Indonesia, yang dikoordinasikan oleh Kementrian Koordinator Kesra.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mengatakan, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 14 triliun untuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri pada tahun 2010 kemarin. Menko Kesra menyatakan, peningkatan alokasi anggaran untuk PNPM bisa membantu masyarakat untuk membangun dan mengembangkan potensi diri hingga bisa keluar dari kemiskinan.

Menurut Menko Kesra, PNPM Mandiri merupakan wadah pembelajaran bagi masyarakat terhadap nilai moral dan etika, “Masyarakat dibimbing untuk membangun kemitraan dalam mewujudkan keinginan bersama”. Agung Laksono menyebutkan, jumlah tersebut meningkat jika dibanding tahun 2009 yang sebesar Rp 9,9 triliun. Peningkatan ini karena respons masyarakat terkait program PNPM sangat positif. Dengan program ini masyarakat dibina dan diberdayakan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi yang baik, menguatkan semangat kegotongroyongan sosial dan ekonomi dalam rangka meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat.

Kita bisa melihat anggaran PNPM Mandiri selama satu tahun hanya setara dengan biaya pembuatan enam buah film Hollywood saja. Enam film itu kalau kita lihat berturutan hanya memerlukan waktu satu hari saja. Padahal jika digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat, ternyata bisa menjadi program nasional selama satu tahun. Luar biasa etos dan kesungguhan insan perfilman Hollywood, tidak berhitung uang yang dikeluarkan, demi sempurnanya produk sesuai yang diharapkan.

Lalu bagaimanakah dengan kesungguhan kita melakukan proyek kebaikan selama ini ? Bagaimana kesungguhan kita melakukan proses pembangunan manusia Indonesia seutuhnya ? Bagaimana kesungguhan kita dalam melakukan dakwah ? Sudah pasti, kesungguhan tidak bisa diukur dari banyaknya dana yang dikeluarkan. Namun perbandingan tadi saya angkat dalam rangka untuk menunjukkan betapa sebuah hiburan, sebuah tontonan, ternyata dibangun dari kerja keras dan kesungguhan menghadirkan berbagai hal terbaik, sehingga biayanya menjadi mahal.

Sekedar membuat tontonan 2 jam, proses pembuatannya berbulan-bulan, menggunakan berbagai peralatan canggih, menghimpun sangat banyak pakar dan keahlian, melibatkan ratusan hingga ribuan orang dalam pembuatannya. Mereka sangat perfect dalam pengambilan gambar, sehingga harus melakukan latihan serius dan harus mengulang-ulang adegan demi mendapat hasil yang sempurna. Tidak jarang harus membuang banyak bagian karena hasilnya tidak memuaskan. Dalam proses animasi, mereka menggunakan teknologi super canggih untuk mendapatkan hasil maksimal. Bayangkan bagaimana harus menggambarkan proses tenggelamnya kapal Titanic agar tampak seperti nyata.

Sementara untuk melakukan kebaikan, kadang belum tampak usaha yang serius dan belum tampak kesungguhan yang optimal dalam merancang maupun menjalankan programnya. Padahal yang akan dihasilkan bukanlah tontonan, bukanlah hiburan, namun sebuah peradaban yang nyata. Kita masih banyak permakluman dan permaafan kepada kegiatan yang ala kadarnya, yang kurang terencana, yang kurang bagus manajemennya. Semua kita maklumi sendiri, dengan alasan masih belajar, sedang berproses, harus bersabar, dan lain sebagainya.

Padahal kita tidak sedang mengada-ada tentang gambaran kapal Titanic, yang kita lakukan justru membangun sebuah kapal peradaban sesungguhnya. Kapal yang tidak boleh pecah dan karam. Kapal yang akan membawa kehidupan menuju kepada kebaikan dan cahaya. Kapal yang akan menjauhkan penumpangnya dari kerusakan, dan membawa mereka semua dalam bimbingan Ketuhanan. Kapal yang akan menghantarkan kepada pulau harapan. Seharusnya dilakukan dengan segenap kesungguhan jiwa, dilakukan dengan segenap pikiran dan perasaan. Bukan ala kadarnya, bukan semaunya, bukan sesempatnya.

Sudahkan kita bersungguh-sungguh melakukan kebaikan ? Sudahkah kita menghadirkan segenap kesungguhan dalam kerja di medan perjuangan ? Ingatlah, hasil akhir yang kita dapatkan bukanlah sebuah hiburan, bukanlah sebuah tontonan, namun sebuah peradaban. Sebuah kehidupan. Sebuah harapan.

Mari bekerja sepenuh kesungguhan.

(cahyaditakariawan.web.id)
Baca selengkapnya »
0 komentar

Penginspirasi Miyamoto Musashi


Kala itu Takezo adalah seorang pria yang putus asa dan mau meninggalkan semuanya: baik pekerjaan maupun hubungan (persaudaraan/pertemanan). Ia mau berhenti hidup.

Lalu, ia pergi ke hutan untuk bicara yang terakhir kalinya dengan seorang Zen bernama Takuan. Katanya, "Apakah Takuan bisa memberiku satu alasan yang baik agar jangan berhenti hidup dan menyerah?"

Jawaban Takuan sangat mengejutkan, "Coba lihat sekitarmu, Takezo. Apakah kamu lihat pohon pakis dan bambu itu?"

"Ya," jawab Takezo. "Aku melihatnya."

"Ketika menanam benih pakis dan benih bambu, alam merawat keduanya dengan sangat baik. Alam memberi keduanya cahaya dan air. Pakis tumbuh sangat cepat di bumi, daunnya yang hijau segar menutupi permukaan tanah hutan.

Sementara itu, benih bambu tidak menghasilkan apa pun, tapi katanya, 'Aku tidak menyerah.'

Pada tahun kedua, pakis tumbuh makin segar dan banyak, tapi belum ada juga yang muncul dari benih bambu. Tapi katanya, 'Aku tidak menyerah!'

Pada tahun ketiga, bambu belum juga memunculkan sesuatu, tapi katanya, 'Aku tidak menyerah!'

Di tahun keempat, masih belum ada apapun dari benih bambu. Ia berkata, 'Aku tidak menyerah!'" demikian cerita Takuan.

Pada tahun ke-5, muncul tunas yang lebih kecil dari tunas pakis. Yah, tunas itu tampak kecil dan tidak bermakna.

Tapi 6 bulan kemudian, bambu tumbuh menjulang sampai 100 kaki (sekitar 30 meter). Rupanya, untuk menumbuhkan akar secara maksimal, perlu waktu 5 tahun. Akar ini membuat bambu kuat dan bisa memberi apa yang diperlukan bambu untuk bertahan hidup.

"Sang Pencipta tak kan memberi kita cobaan yang tak sanggup diatasi oleh ciptaan-Nya," kata Takuan kepada Takezo. "Tahukah kamu, Takezo. Saat menghadapi kesulitan dan perjuangan berat seperti ini, kau sebenarnya sedang menumbuhkan 'akar-akar' yang kuat? Alam tidak meninggalkan bambu itu. Sang Pencipta juga tidak meninggalkan kamu."

"Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain," kata Takuan. "Bambu punya tujuan yang berbeda, dibandingkan dengan pakis. Tapi keduanya membuat hutan menjadi indah. Waktu untuk Anda akan datang. Anda akan menanjak dan menjulang tinggi, asalkan tetap mengandalkan Sang Pencipta dalam setiap rencana dan jalan hidup Anda."
Demikian sepenggal percakapan Shinmen Takezo, sebelum menjadi Miyamoto Musashi (seorang samurai dan ronin yang sangat terkenal di Jepang pada Abad Pertengahan).



Oleh: Andrie Wongso
Baca selengkapnya »
0 komentar

Mengedit si Tukang Edit




Menulis adalah pekerjaan manusia, mengedit pekerjaan dewa.” (Stephen King)

Benarkah editor itu seperti dewa? Benarkah mereka tak pernah salah? Hm, sebenarnya saya tak percaya akan adanya dewa. Tapi saya bisa memahami esensi dari pendapat Stephen King.



Dulu, ketika aktif di pers kampus dan masih berstatus reporter, saya sempat berselisih dengan seorang redaktur pelaksana (redpel). Saya mengkritik hasil editan dia. Tata bahasa yang sudah benar secara EYD seperti kalimat, “Pemerintah berada di balik rencana besar itu,” diubahnya menjadi "Pemerintah berada dibalik rencana itu." Saya ngotot, mengatakan bahwa yang benar adalah “di balik”, bukan “dibalik”. Tapi dengan angkuhnya dia berkata, “Sudahlah, yang redpel itu saya, bukan kamu!” Maka, saya pun hanya diam.

Ketika giliran saya yang menjadi redpel, saya menemukan media untuk “balas dendam”. Saya seperti melihat sehamparan ladang jagung yang dipenuhi oleh rumput liar. Saya akan membabat mereka semua hingga bersih, kecuali jagungnya tentu saja. Tapi saya tetap akan mengutak-atik jagung itu. Kalau perlu, daunnya saya ganti menjadi daun jati dan bijinya dicat berwarna pink. Saya punya wewenang penuh untuk melakukan semua itu, karena kini sayalah yang jadi “dewa”.
Tapi kemudian, saya terperanjat oleh aksi protes sejumlah penulis yang marah karena saya mengobrak-abrik tulisan mereka. Saya pun mengingat lagi pengalaman pahit ketika dulu naskah saya yang diobrak-abrik. Seketika saya sadar, ternyata editor tidaklah sepenuhnya “dewa”. Editor bertugas memperbagus sebuah tulisan, bukan mempemburuk hubungan baiknya dengan para penulis. Apapun yang dilakukan oleh editor, itu haruslah bisa memuaskan semua pihak; redaksi, penulis, dan pembaca.



Maka, saya pun mencoba menjadi seorang editor yang baik, walau terkadang kekejaman saya masih terlihat juga (memang, setiap editor punya potensi menjadi orang kejam. Tak usah malu-malu wahai editor sahabatku. Akui sajalah dengan jujur!).

Kini, saya kembali menjadi manusia, meninggalkan “dunia dewa” yang amat menyenangkan (walau kini jabatan saya di kantor adalah “content editor”, pekerjaan utama saya jauh dari hal-hal yang berbau editing. Tapi setiap pertengahan bulan saya mendapat hiburan karena berkesempatan mengedit naskah-naskah “internal newsletter” milik kantor saya). Sebagai manusia, saya membuat begitu banyak kesalahan. 



Tapi saya bahagia ketika melihat tulisan saya dimuat di media tertentu, dan menemukan si redaktur berhasil menghilangkan kesalahan-kesalahan tersebut (tapi terkadang saya menyesalkan juga, karena mereka ikut menghilangkan dua atau empat paragraf karena alasan keterbatasan halaman. Tapi tak apalah, kita toh tak bisa menghindari hal-hal seperti itu).




Oleh: Jonru Ginting, 

Pengasuh dan Direktur Sekolah Menulis Online pertama dan terbaik di Indonesia
Baca selengkapnya »
0 komentar

Akhwat Pemulung


Sudah lama saya mencari artikel ini, inspirasi dari seorang akhwat (saudara muslimah), menepis semua anggapan dari beberapa kalangan yang menisbatkan sosok perempuan berjilbab yang jauh dari kerja keras. Saat itu saya berdiskusi dengan istri, insyaAllah cerita ini bisa menjadi inspirasi dan teladan bagi kita saat ini, untuk bekerja keras, dan terus bersemangat mengejar cita-cita. Tanpa menjadikan identitas kemusliman/kemuslimahan kita sebagai barier yang menghalangi proses ini.

Sambil berjalan, gadis berjubah itu memungut dan mengumpulkan plastik bekas minuman yang ditemuinya sepanjang jalan. Dia berjalan kaki sehari kurang lebih 10 km. Selama berjalan itulah, dengan menggunakan karung goni, dia memperoleh banyak plastik untuk dibawa pulang.

Orang menyebutnya ’Pemulung’ satu pekerjaan yang bagi ukuran usia remaja sangat tidak bergengsi. TAPI TIDAK BUAT MING MING. Gadis berusia 17 tahun, mahasiswi semester pertama jurusan akuntansi. Dan salah satu mahasiswa TERPANDAI di kelasnya.

Mengenakan gamis hijau, jilbab lebar dan tas ransel berwarna hitam, dia memasuki lobi Universitas Pamulang (UNPAM), Tangerang. Saat kelas usai, dia pergi ke perpustakaan.

“Ilmu sangat penting. Dengan Ilmu saya bisa memimpin diri saya. Dengan ilmu saya bisa memimpin keluarga. Dengan ilmu saya bisa memimpin bangsa. Dan dengan ilmu saya bisa memimpin dunia.” Itu asalan Ming Ming kenapa saat istirahat dia lebih senang ke perpustakaan daripada tempat lain. (keren ya…)

Sore hari setelah kuliah usai, Ming Ming menuju salah satu sudut kampus. Di sebuah ruangan kecil, dia bersama beberapa temannya mengadakan pengajian bersama. Ini adalah kegiatan rutin mereka, yang merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa di UNPAM.

Setelah itu, dia bergegas keluar dari komplek kampus. Namun dia tidak naik kendaraan umum untuk pulang. Dia lebih memilih jalan kaki ke rumahnya. Padahal jarak rumah dengan kampus lumayan jauh. Dalam perjalanan itulah, gadis bersahaja ini memunguti plastik bekas minuman tanpa rasa jengah sedikitpun. Karena dia berpikir dengan cara inilah dia bisa membantu meringankan beban ekonomi orangtuanya.

Rumah Ming Ming jauh dari kampus. Dia tinggal bersama ibu dan 6 orang adiknya yang masih kecil-kecil. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana yang mereka pinjam dari saudara mereka di Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor. Biasanya setelah berjalan hampir 10 km, untuk sampai ke rumahnya Ming Ming menumpang truk. Sopir truk yang lewat, sudah kenal denganya, sehingga mereka selalu memberi tumpangan di bak belakang.

Subhanallah, setelah truk berhenti dengan tangkas dia naik ke bak belakang lewat sisi samping yang tinggi itu. (can you imagine it?)

Ming Ming sekeluarga adalah pemulung. Dia, ibu dan adik-adiknya mengumpulkan plastik, dibersihkan kemudian dijual lagi. Dari memulung sampah inilah mereka hidup dan Ming Ming kuliah.

Ini adalah sepenggal cerita nyata yang ditayangkan dalam berita MATAHATI di DAAI TV sore tanggal 18/8/2009. Di Trans TV juga disiarkan hari selasa beberapa hari sebelumnya, di acara KEJAMNYA DUNIA. Sungguh episode yang membuat bulu kuduk kita merinding dan mata kita berkaca-kaca.

Astaghfirullah. Gimana bisa kita masih sering mengeluh hanya karena tabungan gak nambah-nambah?

OMG…. Bagaimana dia bisa berjalan 10 km perhari? Kita aja jalan 20 menit ke kantor tiap pagi dan sore sudah merasa capek banget. Lemah.

Subhanallah. Semangatnya itu loh. Kalau dengar dia berkata-kata, sepertinya tidak ada rasa minder, malu, bahkan dia sangat yakin. Oh girl, you are so great. Wonderfull.
Baca selengkapnya »
0 komentar

Mengajar di Bukit Harapan, tanpa listrik, tanpa kendaraan


Satu lagi kisah yang menginspirasi. Kisah tentang Pengajar Muda Indonesia Mengajar bernama Mb Wiwin (Erwin Puspaningtyas Irjayanti) aka Waheeda El Humayra (alumni IPB) yang saat ini ditempatkan di Majene, Sulawesi Barat. Ini bukan kisah dari negeri dongeng, karena ia benar-benar ada.

The Old Man said, Everyday has its miracle. I am not the Old Woman, but I believe it too: EVERYDAY HAS ITS MIRACLE  "Kisah ini hadir di layar komputermu setelah seorang guru di SD terpencil berlari-lari riang selama 45 menit sembari membawa parang bersama 3 muridnya yang menggenggam bambu runcing untuk menghalau babi--jika sewaktu-waktu ketemu--menuju "Bukit Harapan", demikian bukit itu diberi nama baru-baru ini karena di bukit itu telah ditemukan sinyal GPRS. Diketik dengan penuh kesabaran di atas keyboard HP Nokia E63, inilah kisah yg ingin diceritakan oleh guru SD terpencil itu:

Tentang Rizki.
Teman-temannya, murid kelas 3, bercerita tentang dia kepada saya: anak itu, namanya Rizki. Rizki Ramlan. 9 tahun. Sejak 4 bulan belakangan, dia tak pernah berangkat ke sekolah. Tanpa alasan. Namun desas desus menyebutkan, bahwa ia malas bangun pagi. Dengan kehadirannya yang tak lebih dari 20 kali dalam 1 semester, teman2nya mengenal ia sebagai anak pandai. Rizki, ia tinggal di Tamaluppu.

Tentang Tamaluppu.
Ialah sebuah tempat yg lebih terpencil dari Passau--tempat terpencil dimana saya tinggal saat ini.

Ini adalah statistik tentang Tamaluppu (T) Vs. Passau (P).
*Jumlah rumah: 13 (T) Vs. 60 (P).
*Listrik: sama sekali tidak ada (T) Vs. genset desa dr jam 19.00-22.00 (P).
*Sinyal GSM: sama sekali tidak ada (T) Vs. Maksimal utk SMS di spot tertentu (P)
*Jarak dari jln.poros Majene-Mamuju: 6-7 km / 1,5-2 jam perjalanan (T) Vs. 3 km / 45 menit perjalanan (P).
*Dapat dicapai menggunakan: hanya dengan jalan kaki dari Passau (T) Vs. Motor, jika tidak turun hujan (P)
Tentang Ide Mengajar di Tamaluppu
Pada hari dimana saya mengemukakan ide bahwa saya ingin seminggu 2x memberi pelajaran tambahan bagi anak-anak di Tamaluppu, banyak orang menganjurkan untuk tidak usah, karena itu jauh, susah, repot. Anak2 Tamaluppu juga lebih pemalu dari anak2 super pemalu di Passau. Buat apa? Kenapa tidak menyuruh mereka saja yang ke sini utk mendapatkan pelajaran tambahan?

Saya bergeming. Hanya tersenyum dan dengan halus menjawab keberatan orang-orang, "saya akan tetap ke sana, meski sendirian."

Tentang Tamaluppu yang Saya Kenal.
Sudah tiga minggu ritual ini berjalan: Jam 3 sore, setiap Selasa dan Jumat, pergi ke Tamaluppu mengajar anak-anak di sana. Kami belajar dimana saja: di rumah Ali (murid kelas 6), di halaman langgar, di bawah pohon kelapa (yg sedang tidak berbuah). Saya mengenang Tamaluppu dalam beberapa potongan memori:

--ialah suatu tempat dimana 8 dari 63 murid saya tinggal. Yang jika hari hujam, dipastikan anak-anak itu tidak akan berangkat sekolah.

--Sebab jika hari hujan, jalan setapak yg sedianya mereka lewati berubah menjadi sungai dan air terjun.

--Anak-anak itu berangkat ke sekolah dengan membawa bambu runcing, sebab di perjalanan dari Tamaluppu menuju Passau, seringkali mereka musti berhadapan dengan babi hutan.

Antara Saya dan Rizki Ramlan
Saya tidak pernah mengenal anak itu. Menyentuhnya. Berbicara dengannya. Saya tidak mampu. Ia begitu tak tersentuh. Begitu jauh. Setiap kali saya berusaha mendekatinya sehabis saya mengajar anak2 Tamaluppu yang lain, ia selalu lari. Menjauh. Mengintai saya dari tempat yang menurutnya paling aman sedunia: persembunyiannya. Saya mengalah. Saya memilih tidak memaksa.

Hingga pada suatu sore yg berhujan deras, yg tak henti-henti sampai petang dan malam tiba, saya memutuskan untuk menerima kesopanan orangtua Ali yg menawarkan saya bermalam di rumah mereka. 
Singkatnya malam itu, Rizki yg malu-malu itu, pada suatu kesempatan saat saya habis salat isya, dari balik pintu dia melemparkan: selembar kertas yg bulat karena diremas, dua lembar, tiga lembar, sampai 6 lembar. Lalu, dia lari.

Dia berlari dan menjauh. Tak tersentuh untuk kesekian kalinya.

Saya membuka kertas2 itu. Isinya, membuat saya mematung:
Coretan soal2 matematika yg tiga minggu ini kuajarkan pada anak-anak Tamaluppu, kelas 4, kelas 6. 

Di kertas yg lain, coretan soal yg dia buat sendiri, dan dia jawab sendiri. Dan 80% jawabannya adalah benar: materi kelas 4, materi kelas 6. Rizki, kelas 3, sudah 4 bulan tidak masuk sekolah.

Aku tertegun. Mematung. 
Dalam nyala obor, aku menulis di sesobek kertas: "Pintar sekali kamu! Sekolah di mana?". Kuremas kertas itu.
Lalu keluar rumah: mencari sosoknya di kegelapan dan menemukannya sedang mengintaiku dari bawah tangga. Kulempar kertas itu di tempat yg terlihat namun agak jauh darinya, lalu pergi seolah-olah yg barusn kulempar adalah sampah.

Tak lama, dari jendela yg sengaja kubuka, masuklah segumpal kertas: 
"Tidak sekolah. Tidak ada yang diajarnya. Tidak ada gurunya."

Aku tersenyum. Benar dugaanku bahwa dia akan membalas suratku. Tanpa sempat menutup jendela, aku tertidur. Tak tahu bahwa seorang anak meringkuk di bawah jendela, menanti ada balasan atas segumpal kertas yg dilemparnya. Hanya karena dia berpikir bahwa jendela itu masih terbuka. Ketika pagi, baru aku sadar: jendela terbuka, aku melongok, menemukan tubuh kecil meringkuk di atas bangku dari bambu. Tertidur. Tangannya menggenggam kertas, dan pulpen.

Tentang suatu hari bernama Selasa, 14 Desember 2010, sekira pukul
15.30 WITAHari hampir hujan. 30 menit perjalanan dari Passau sudah saya tempuh. 15 menit lagi, saya tiba di Tamaluppu. Antara ya dan tidak, sembari menatap langit berawan pekat, saya memutuskan melanjutkan perjalanan. Tak sampai 5 menit, hujan turun. Langsung sangat deras. Saya berteduh di bawah pohon jambu mete, bersama kakak angkat saya yang juga guru sukarela, Kak Yani. Semenit, dua menit. 

Di kejauhan, di bawah butiran air yg menyamarkan pandangan mata, samar-samar kulihat sesosok bocah. Bertelanjang dada, bercelana yang warnanya seperti coklat. Parang di tangan kirinya, daun pisang di tangan kanannya. Dia mendekat. Semakin dekat dan dia menuju kami. Menuju saya. Mengulurkan daun pisang di tangan kanannya, satu untuk saya, satu untuk Kak Yani.
Aku dan Kak Yani saling bertatapan.

Aku bertanya yg segera diterjemahkan oleh Kak Yani yang intinya, "ngapain kamu di sini? Dari kebun?"
Dia tak menjawab.
Dadanya naik turun. Naik, turun. Naik, turun. Naik turun dengan cepat. Air hujan, mungkin, telah mengaburkan--jika benar--air matanya. 

Dia menangis.
Ya, dia menangis.
Lalu, dengan bahasa Mandar yg kacau, saya bertanya, "mangappai i'o sumangiq, Rizki? Mengapa kamu menangis, Rizki?"
Aku mengulurkan tangan. Meraih tubuh basan kuyupnya. Dan untuk pertama kalinya, ia diam. Tak berlari. Tak menjauh. Rizki, akhirnya, aku dapat menyentuh tubuh kecilnya.
Lalu tiba-tiba, Tiba-tiba saja, dia menyambutku. Memeluk pinggangku. Melingkarkan tangannya yang masih memegang parang di pinggangku. 
"Puang, yakkuq meloq massikola."

Dalam hujan, dia menenggelamkan kepalanya di perutku, mengalahkan derasnya suara hujan dengan suaranya, "Puang, saya mau sekolah."

Dia memelukku. Erat. 
Aku mematung. Haru. Sakit. Sesak. Bahagia. Sesak oleh perasaan bahagia.
Teringat olehku tentang pagi itu, ketika bocah itu masih meringkuk tertidur di bangku bambu bersama segenggam kertas dan pulpen, saat kuletakkan segenggam kertas di dekat kepalanya, "Pergilah ke sekolah. Aku guru di sana. Akan kuajar kau tentang rahasia-rahasia yang ingin kau tahu. Semua rahasia. Pergilah ke sekolah."
Pagi ini, 15 Desember 2010
Kebahagiaan adalah ketika dari jendela rumahm saya melihat anak-anak Tamaluppu tiba di sekolah. Ada Rizki di sana. Dengan seragam kusut robek-robeknya. Saat aku masuk halaman sekolah, ia tengah memegang raket badminton.

Saat ia kutatap, ia melengos. Pura-pura tak melihat. Dia masih malu-malu. 

Saat kudekati, ia kembali berlari.
Ia kembali menjauh.

Ia kembali tak tersentuh.

Tapi aku tahu, hari-hari esok, dia akan melemparkan bola-bola kertasnya kepadaku. Lagi. Seperti tadi siang ketika tiba-tiba ia melemparku segenggam kertas, "Kapan Tamaluppu akan mengalami musim salju seperti di Amerika?"

***
Salam hangat dari Bukit Harapan

Baca selengkapnya »

Sahabat

Artikel Terbaru

Arsip Blog