Saya berinteraksi dengan Pak Subur saat berada di lokasi bencana kawah timbang di Batur Dieng, beliau pimpinan Recue Tim PKPU saat tanggap bencana Banjir di Wasior Papua. Cerita tentang perjalanan di Papua, dan sulitnya mendistribusikan bantuan di sana dengan minimnya sarana transportasi, lebih banyak bantuan itu dipanggulnya sendiri dengan menyusuri jalanan yang masih berbentuk lumpur pekat.
Kemudian betapa sulitnya meyakinkan penduduk di papua, dan terkadang harus berhadapan dengan golok yang disosongkan ke depan muka, akibat ulah beberapa Oknum LSM yang menyakiti hati penduduk disana, banyak berjanji tapi hanya berujung janji, dan penduduk mejadi trauma dengan bantuan lsm, untungnya segera bisa di peluk kembali oleh beliau.
Dan cerita di Wasior ini akhirnya tertuntaskan dengan berakhirnya misi PKPU disana, seperti di ceritakan mba Rahma, staf DRM PKPU.
“Tidak soal jika saya harus ikut menggulung lengan baju dan berkeringat debu, demi terselesaikannya semua program di Wasior. Namun, jauh di lubuk hati saya, sungguh saya berharap ada peningkatan yang berarti dari sumber daya manusia di Wasior, putra-putri Papua!” (Dikutip dari perbincangan penulis dengan M Kaimuddin, Manager DRM PKPU)
Alhamdulillah. Sungguh bersyukur. Akhirnya perjalanan panjang program penanggulangan bencana PKPU di Papua dapat terselesaikan. Sebuah episode yang tak singkat, berawal dari bulan Oktober 2011 dan berujung di akhir Maret 2012. Sejak dari awal aksi segera setelah banjir bandang dan longsor menerjang Wasior hingga program pemulihan dan rehabilitasi sekarang ini. Sebuah kerja yang tidak mudah.
PKPU dengan seluruh donatur yang dermawan setia mengawal program kemanusiaan di Wasior ini. Mulai dari bantuan logistik, dapur air, serambi nyaman, pembangunan rumah guru, pembuatan rumah baca, hingga ke pelatihan pembuatan abon. Dengan segala halang dan rintang, tak sedikit keluh dan kesah sepanjang prosesnya. Alhamdulillah. Rampung juga.
Tak dapat dipungkiri bahwa banyak hal-hal pelik menyertai pelaksanaan program ini. Jarak geografis, merupakan tantangan pertama. Mengunjungi Wasior dari Jakarta tentu tak semudah mengunjungi Bandung dari Ibukota. Demikian juga pengadaan alat, bahan dan material yang diperlukan untuk pelaksanaan program,butuh waktu cukup lama menunggu barang dikirim dari Manokwari ke Wasior.
Tantangan kedua, komunikasi. Baik komunikasi verbal via telepon, maupun pengiriman informasi via internet. Bahasa dengan dialek yang berbeda, sinyal yang lemah, dan perbedaan persepsi yang harus disikapi dengan bijak dan sabar.
Sumberdaya manusia yang lengkap dengan persepsi, budaya, dan kemauan yang berbeda-beda juga menjadi tantangan yang harus disinergikan. Bagaimana menyatukan banyak kepala yang sama hitam menjadi sekelompok orang dengan visi yang sama. Serta bahu membahu dengan misi yang telah disepakati sebelumnya.
Terminologi waktu, menjadi tantangan berikutnya. Mengutip istilah Pak Dahlan Iskan, Betapa relatifnya waktu. Bagi kita yang ada di Jakarta, waktu yang ada benar-benar harus dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin. Namun, di Papua, pemaknaan akan waktu, mungkin berbeda. Lambat ataupun cepat menjadi sangat relative. Tergantung siapa yang memaknai.
Tantangan-tantangan lainnya, tentu masih banyak. Mulai dari pesan yang tak sampai, listrik yang mati berhari-hari, air yang tak mengalir. Semua itu menjadikan perjalanan ini, menjadi begitu harus dimaknai dengan rasa syukur. Harapan yang digantungkan, tidak rumit. Semoga apa yang telah dipersembahkan kepada saudara-saudara kita di Wasior bermanfaat dan memicu kesadaran yang lebih luas lagi. Bahwa mereka mampu mengoptimalkan potensi dan menjadi lebih berdaya karena itu. Karena itu, narasi ini kami panggil, “From Wasior with Love”.
Alhamdulillah. Sungguh bersyukur. Akhirnya perjalanan panjang program penanggulangan bencana PKPU di Papua dapat terselesaikan. Sebuah episode yang tak singkat, berawal dari bulan Oktober 2011 dan berujung di akhir Maret 2012. Sejak dari awal aksi segera setelah banjir bandang dan longsor menerjang Wasior hingga program pemulihan dan rehabilitasi sekarang ini. Sebuah kerja yang tidak mudah.
PKPU dengan seluruh donatur yang dermawan setia mengawal program kemanusiaan di Wasior ini. Mulai dari bantuan logistik, dapur air, serambi nyaman, pembangunan rumah guru, pembuatan rumah baca, hingga ke pelatihan pembuatan abon. Dengan segala halang dan rintang, tak sedikit keluh dan kesah sepanjang prosesnya. Alhamdulillah. Rampung juga.
Tak dapat dipungkiri bahwa banyak hal-hal pelik menyertai pelaksanaan program ini. Jarak geografis, merupakan tantangan pertama. Mengunjungi Wasior dari Jakarta tentu tak semudah mengunjungi Bandung dari Ibukota. Demikian juga pengadaan alat, bahan dan material yang diperlukan untuk pelaksanaan program,butuh waktu cukup lama menunggu barang dikirim dari Manokwari ke Wasior.
Tantangan kedua, komunikasi. Baik komunikasi verbal via telepon, maupun pengiriman informasi via internet. Bahasa dengan dialek yang berbeda, sinyal yang lemah, dan perbedaan persepsi yang harus disikapi dengan bijak dan sabar.
Sumberdaya manusia yang lengkap dengan persepsi, budaya, dan kemauan yang berbeda-beda juga menjadi tantangan yang harus disinergikan. Bagaimana menyatukan banyak kepala yang sama hitam menjadi sekelompok orang dengan visi yang sama. Serta bahu membahu dengan misi yang telah disepakati sebelumnya.
Terminologi waktu, menjadi tantangan berikutnya. Mengutip istilah Pak Dahlan Iskan, Betapa relatifnya waktu. Bagi kita yang ada di Jakarta, waktu yang ada benar-benar harus dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin. Namun, di Papua, pemaknaan akan waktu, mungkin berbeda. Lambat ataupun cepat menjadi sangat relative. Tergantung siapa yang memaknai.
Tantangan-tantangan lainnya, tentu masih banyak. Mulai dari pesan yang tak sampai, listrik yang mati berhari-hari, air yang tak mengalir. Semua itu menjadikan perjalanan ini, menjadi begitu harus dimaknai dengan rasa syukur. Harapan yang digantungkan, tidak rumit. Semoga apa yang telah dipersembahkan kepada saudara-saudara kita di Wasior bermanfaat dan memicu kesadaran yang lebih luas lagi. Bahwa mereka mampu mengoptimalkan potensi dan menjadi lebih berdaya karena itu. Karena itu, narasi ini kami panggil, “From Wasior with Love”.
0 komentar:
Posting Komentar