Search

Content

Jumat, 12 Januari 2018

Catatan Kemanusiaan Respon Rohingya di Bangladesh - PKPU



Matahari saat itu masih malu menampakkan sinarnya. Hawa dingin terasa sekali masuk melalui celah-celah bilik rumah. Sya’alom (34) sepanjang malam itu tidak bisa tidur tenang. Safiyyah(1) anak bungsunya ia pegang terus semalaman, seakan malam itu adalah malam terakhir baginya. Suhana (27) sang ibu menemani ke empat saudara Safiyyah dalam melewati malam yang dirasakan sangat panjang. Ia sudah bersiap ketika suaminya, sebelum tidur, berkata bahwa mereka harus segera lari, pergi meninggalkan desa mereka. Suhana tahu apa yang harus ia lakukan. Menyiapkan perbekalan untuk perjalanan yang panjang.
Subuh itu, di bulan Agustus 2017, ketika umat islam di berbagai belahan dunia menyiapkan perayaan Idul Adha, Sya’lom mengajak keluarga beserta ibunya hijrah ke Bangladesh bersama ratusan warga dari desa mereka. Sya’lom sudah mendengar sejak beberapa hari sebelumnya, bahwa militer Myanmar sudah melakukan berbagai kekerasan di desa-desa tetangga mereka. Ibunya yag sudah renta ia ajak serta. Pakaian dan makanan ia bawa secukupnya, karena yang utama adalah nyawa mereka. Rumah, ladang dan ternak ditinggalkan, menghilang di kejauhan seiring pagi menjelang.
Perlu waktu 7 hari bagi Syalom dan ratusan keluarga lainnya mencapai perbatasan Bangladesh, yang dibatasi oleh aliran sungai Naf. Hutan, bukit dan lembah ia lewati bersama keluarga mereka. Dalam perjalanan yang berat, rombongan yang awalnya terdiri dari ratusan keluarga, ternyata bertemu dengan ribuan keluarga lainnya, bertebaran di sepanjang perbatasan Bangladesh-Myanmar. Sungai Naf yang membatasi mereka dengan ‘tanah pengharapan’ dipenuhi oleh ribuan manusia yang menyebrang. Mereka tiba tanpa memiliki apapun.
Apa yang dialami keluarga Sya’alom, sama juga dengan keluarga Ali Jauhar, Muhammadul Haq, Nurul Hasyim dan ratusan ribu keluarga lainnya di sepanjang perbatasan Bangladesh-Myanmar. Mereka tiba meninggalkan seluruh harta benda dan tanpa memiliki apapun. Sepanjang Agustus-Desember 2017 sekitar 650 ribu orang Rohingya lari dari rumah-rumah mereka di utara Provinsi Rakhine, khususnya di distrik Maungdaw menuju perbatasan Bangladesh, menghindari kekerasan yang dialami.
Keluarga Sya’alom adalah satu diantara 400 keluarga atau sekitar 2800 jiwa yang menerima bantuan hunian sementara dari PKPU di camp pengungsian Balukhali 2, Bangladesh. Selain hunian, PKPU juga memberikan bantuan berupa alat memasak, kompor gas, selimut, makanan, nutrisi, fasilitas air bersih dan sanitasi kepada total lebih dari 41,000 jiwa sepanjang Agustus-Desember 2017. Bantuan harus diberikan sesegera mungkin, karena mereka tiba di musim hujan dan harus segera menghadapi musim dingin di bulan Januari-Februari. PKPU akan terus membersamai mereka melewati krisis yang terjadi dengan menggulirkan berbagai program untuk menopang kehidupan mereka di pengungsian.
Saat ini senyum mulai tampak di wajah Muhammad Anas (10) anak sulung Sya’alom, yang selama perjalanan menjadi tangan kanan ayahnya. Mustaqimah (putri mereka, kini bisa sekolah lagi dan sepulangnya, ia membantu ibunya di rumah dan mengurus nenek mereka yang telah lanjut. Harapan akan terus ada di wajah-wajah mungil anak-anak Rohingya, walalupun saat ini mereka harus berhijrah. Namun dengan sholawat kepada Rasululloh yang terus terdengar dari surau-surau beratap terpal dan berlantai semen di perbukitan pengungsi tersebut, mereka yakin suatu saat mereka akan kembali, seperti yang dilakukan Nabi mereka ribuan tahun lalu. Kembali dengan aman dan damai.
Cox Bazaar, January winter – 2018
Tulisan : Deni Kurniawan - DRM PKPU

0 komentar:

Posting Komentar

Sahabat

Artikel Terbaru

Arsip Blog