Search

Content

Rabu, 08 Juli 2020

Bumi Manusia





Setahun lalu, saat hiruk pikuk rilis film Bumi Manusia, saya tidak terlalu memperhatikan, sekilas hanya melihat di media saat perilisan film. Tadinya saya kira semacam film science fiction , tentang alien atau superhero, ah betapa nda updatenya saya. 
Setelah beberapa saat, baru saya ngeh kalau itu film adaptasi dari novel yang legendaris dari Pramoedya Ananta Toer. Novel yang di tulis dipengasingannya di pulau Buru. Alih alih ingin melihat filmnya, istri yang terlebih dahulu minta untuk membeli novelnya. Novel sudah selesai lama dibaca istri, dan teronggok di rak buku.

Beberapa hari yang lalu barulah saya membacanya, setelah diskusi dengan istri tentang serunya novel tersebut. Sejak pendemi, kuantitas membaca buku jadi lebih banyak memang, buku buku yang belum dibaca akhirnya satu demi satu saya baca. Sinopsis buku Bumi Manusia di tulisan ini lebih ke sudut pandang saya sebagai pembaca, apa yang saya rasakan dan apa yang saya pahami, jadi mohon maaf kalau nanti banyak ngelanturnya.

Novel setebal sekitar 500 halaman ini, membawa saya ke suasana zaman penjajahan Belanda di penghujung tahun 1800an, menjelang pergantian abad. Suasana, sudah sedikit berbeda dari suasana di awal masa penjajahan. Digambarkan saat itu Belanda sudah mulai memfasilitasi pendidikan pribumi, dan didalam negerinya sendiri sudah mulai ada pertentangan pemikiran tentang legalitas penjajahan di bumi Hindia. Ternyata tidak semua orang Belanda sepakat dengan penjajahan di Hindia. Bahkan sampai ada anekdot dikalangan internal orang Belanda, kalau mereka yang menjajah itu sebenarnya tadinya hanyalah petualang yang terbuang dari negerinya, yang kemudian menemukan tanah dinegri sebrang untuk kemudian direndahkan martabatnya demi mendapat keuntungan.

Dibanding kisah percintaan antara Minke dan Annelies, saya lebih menikmati latar sejarah dan pergolakan pemikiran yang menjadi latar kisah Bumi Manusia, Rasialisme sepertinya memang menjadi masalah barat sejak dulu, walau tidak semua barat setuju dengan hal ini. Kisah kasus rasis di Amerika beberapa waktu yang lalu,seperti menggambarkan bara dalam sekam rasialisme barat, ini memang menjadi pekerjaan rumah bagi barat yang terus berkelindan dari dulu sampai sekarang.

Sosok Minke, ditulis Pram seperti seorang yang kalut, bagaimana minke bertemu dengan banyaknya ragam pemikiran ,dari tuntutan  tradisi jawa ningrat yang terus ditagih oleh bunda dan ayahnya, kalangan sekolah HBS, kalangan pemikir liberal Belanda yang bercorong pada pemikiran multatuli, diwakili oleh gurunya yang saya lupa namanya saking sulitnya penyebutan nama sehingga susah saya ingat, pemikiran mantan tentara kompeni asli prancis yang insyaf yang kemudian menjadi sahabat sekaligus seperti kakaknya.

Akhir yang tragis dari Novel Bumi Manusia, bukan berarti menyurutkan arti perjuangan dari seorang Minke, pemuda yang berusia 18 tahunan, (yang kalau saat ini mungkin masih asyik rebahan) tapi harus menghadapi situasi pelik permasalahan didalam keluarga nyai Ontosoroh, sekaligus melawan rasialnya Belanda, wajar sih kan mereka Penjajah. 

Kalau anda belum membaca Novel ini, abaikan tulisan ini,  novelnya jauh lebih seru karena nuansa sejarahnya belum pernah kita jumpai dimata pelajaran PSPB di jaman saya dulu sekolah, ngomong ngomong PSPB kok jadi mirip PSBB ya 

0 komentar:

Posting Komentar

Sahabat

Artikel Terbaru

Arsip Blog