Search

Content

Sabtu, 05 Maret 2011

'Aktris dan Aktor' Jalanan Yang Menipu...



Panggil saja saya dengan nama Ridha, seorang karyawan di Lembaga Kemanusiaan Nasional PKPU Bandung dan sekaligus diamanahi sebagai seorang jurnalis. Salah satu tugasku adalah kembali menceritakan apa yang aku lihat, aku dengar, aku rasa, dan aku tulis menjadi sebuah tulisan serta aku sebar luaskan agar orang selainku bisa membacanya, dan tentu saja bisa mengambil hikmah di setiap perjalanan tulisanku.

Jarak tempat tinggalku dengan tempatku bekerja lumayan cukup jauh, waktu kira-kira 50 menit aku tempuh dengan menggunakan sepeda motor. Otomatis, apa yang ada di depanku, samping kanan dan kiriku bisa dengan mudah terlihat. Selain itu, aktivitas-aktivitas di perempatan jalan bisa aku perhatikan dengan seksama.

Berhenti di lampu merah, serta merta membuat mata berkaca mata minus tigaku beredar ke segala penjuru arah. Ada banyak orang yang berlalu lalang menjajakan aktivitasnya, mulai dari tukang makanan, tukang koran, tukang ngamen, tukang membersihkan kaca mobil, penari jalanan, bahkan ‘aktris dan aktor’ handal ikut meramaikan panggung pencarian nafkah di jalanan.

Tidak ada yang salah memang dengan macam-macam usaha pencarian nafkah yang mereka jajakan, selagi halal kenapa mesti malu untuk melakukannya. Yang salah adalah ketika sesuatu itu dimanipulasi sedemikian rupa agar banyak orang merasa iba dan akhirnya memberikan kepingan bahkan lembaran uang iba kepada sang penipu atas nama mencari nafkah.

Entah pantas untuk diacungi jempol atau tidak untuk para ‘aktris dan aktor’ di jalanan, aktingnya memang luar biasa bagus layaknya sedang berperan di panggung teater dan dihadiri dengan riuh rendahnya tepuk tangan dari para penonton. Sepintas bisa saja mengecoh banyak mata dan perasaan manusia-manusia yang melihatnya. Sadarkah kita??

Dengan tidak bermaksud mengeneralisir keadaan, mereka yang buta ternyata hanya pura-pura buta. Dengan mengenakan kacamata hitam dan dilengkapi tongkat, berjalan dengan agak sradak-sruduk sana-sini, atau dipapah oleh rekan sejawatnya untuk memuluskan aksinya, agar seolah-olah mata kita mempercayai bahwa dia memang buta.

Mereka yang berjalan ngesot ternyata hanya pura-pura tidak memiliki kaki. Dengan satu kaki yang dilipat, diikat dan dimasukkan ke dalam celana yang agak longgar, berjalan dengan menggunakan kedua tangannya menyisir kendaraan-kendaraan yang berhenti di lampu merah, agar seolah-olah penglihatan kita meyakini kalau dia benar-benar tidak memiliki kaki untuk berjalan.

Tidak hanya itu saja, terkadang aksi panggung mereka diwarnai dengan kreativitas yang lebih. Banyak dari mereka yang berkreasi di tubuhnya sendiri. Tangan dan kaki mereka dibalur dengan ramuan-ramuan, entah apa namanya, yang seolah-olah kita menyadari itu adalah borok yang bernanah.

Tangan atau kaki mereka dibalut dengan perban yang di dalamnya di simpan ikan asin, yang secara otomatis lalat pasti akan hinggap di perban itu. Dan sekali lagi, seolah-olah kita mempercayai bahwa tangan atau kaki mereka terluka, karena tidak ada uang luka itu dibiarkan dan akhirnya bernanah dan dikerubuti lalat.

Sungguh usaha yang cerdas bukan?? Otak kreativitasnya benar-benar jalan, dan topeng-topeng wajah dipermak sedemikian rupa menjadi wajah dengan gurat kesedihan yang mendalam, dan pastinya menghasilkan kepingan bahkan lembaran uang atas nama rasa iba orang-orang yang melihatnya.

Tapi kita dan khususnya saya boleh jadi menjadi barisan dari orang-orang yang tertipu karena ‘kecerdasannya’ mereka berakting. Setelah dirasa cukup usaha pencarian nafkah di hari itu, mereka bergegas ke pinggiran jalan ke tempat teman-teman yang lainnya berkumpul. Ornamen-ornamen sebagai kelengkapan acting dilepas seketika tanpa menghiraukan kita yang terheran-heran karena perbuatan mereka.

Bukan masalah berapa uang yang sudah kita bayarkan untuk acting mereka, tapi perasaan kita yang sudah ditipu atas nama lapar, atas nama iba, dan atas nama rasa kepedulian kita terhadap sesama. Allah Maha Kaya, memberikan kita akal dan fikiran bukan untuk mengelabui setiap pandangan mata, tapi salah satunya untuk mencari rizki-Nya yang halal dengan cara yang baik pula.

Inilah sepenggal dari cerita perjalananku. Semoga tak menjadi sebuah kesalahan ketika ku tulis ulang apa yang aku lihat, aku dengar dan aku rasa. Bacalah, semoga ada hikmah untuk perjalanan kita selanjutnya.

 
Ditulis Oleh: Ridha Fajar ('Sang Jurnalis Peradaban' PKPU Bandung)

0 komentar:

Posting Komentar

Sahabat

Artikel Terbaru

Arsip Blog