Search

Content

Rabu, 25 Mei 2011

OPTIMALISASI MANAJEMEN BENCANA



Bagi manusia, bencana sesungguhnya bukan hal baru dalam perjalanan perkembangan kehidupannya.  Lewat bencana yang terjadi berkali-kali dalam sejarah manusia, akhirnya manusia secara terus-menerus melakukan inovasi untuk bisa terhindar dari bencana. Walaupun demikian, bencana tetap saja bencana, ia memiliki karakter khas berupa sulitnya diprediksi dan dikendalikan dampaknya bagi kehidupan manusia. Dalam  bencana alam yang bersifat terbatas dan lokal, manusia sedikit banyak mampu meminimalisir dampak serta kerugiannya, namun ada lebih banyak lagi bencana alam yang ternyata manusia tidak sanggup untuk memprediksi dan menghindar dari terjadinya bencana tersebut. Yang bisa dilakukan ketika bencana alam telah terjadi bagi manusia adalah bagaimana mengelola kondisi pasca bencana. Upaya atau pengelolaan ini meliputi pengelolaan korban yang selamat, barang yang masih tersisa serta hal-hal lain yang menjadi daya dukung pemulihan pasca bencana.

Tulisan di bawah ini sedikit banyak mengulas bagaimana sebenarnya potensii bencana alam di Indonesia, kiprah NGO (Non Govermental Organization) atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam penanganan bencana serta upaya-upaya optimalisasi pengelolaan manajemen bencana   alam yang terjadi, khususnya yang bisa dilakukan oleh kalangan NGO atau LSM.

Indonesia dan Potensi Bencana
Indonesia, negeri indah di jamrud khatulistiwa bukan saja berlimpah sumber daya alam begitu banyak, ternyata negeri ini sekaligus memiliki potensi bencana yang tak terkira. Ada begitu banyak ragam bencana yang terjadi di negeri ini. Secara geografis dan alami, Indonesia juga merupakan suatu kawasan dunia yang berpotensi mengalami bencana alam besar terutama gempa bumi, tsunami, gunung meletus, semburan atau lelehan produk gunung api, longsoran dan tanah bergerak (land slip), badai, dan lain-lain.

Kejadian-kejadian tersebut tidak bisa dihindari karena kenyataanya letak wilayah kepulauan Nusantara secara geologis berada pada kawasan hiperaktif di antara pertemuan lempeng-lempeng (kerak bumi/samudra) besar dunia, yakni Lempeng Benua Asia yang bergerak ke arah selatan dan timur di bagian utara, Lempeng Samudra Hindia dan Australia sebelah selatan dan barat yang bergerak ke utara, serta Lempeng Samudra Pasifik di sebelah timur yang bergerak ke barat.

Disebabkan terdapatnya pertemuan antara lempeng-lempeng bumi tersebut, maka bencana alam merupakan suatu fenomena yang “wajar” terjadi, khususnya yang berupa gempa, letusan gunung berapi bahkan tsunami dalam berbagai skalanya.   Masyarakat  yang tersebar di pulau-pulau yang ada di Indonesia mau tidak mau memiliki peluang cukup besar untuk bersinggungan dengan bencana dalam tingkatan yang berbeda-beda situasinya, sesuai tempat tinggal serta karakter bencana yang ada di sekitarnya. Melihat kondisi tersebut, bukan saja tempat tinggal berupa kampung-kampung pemukiman, desa bahkan kota besar-pun idak bias lepas dari kemungkinan bencana. Penduduk di manapun tinggalnya, harus rela  hidup dan membangun kehidupan dalam intaian rawannya bencana alam. Hal ini akan lebih parah saat masyarakat ternyata tidak mampu mengenali daerah serta karakter bencana alam di lingkungan tempat tinggal mereka sehingga mereka tidak mempersiapkan diri sejak dini bagaimana cara untuk hidup berdampingan dan "aman" di kawasan semacam itu.

Kenyataan Indonesia sebagai “daerah bencana”  dapat kita cermati misalnya sepanjang tahun 2004-2006. Saat  belum lagi kering luka anak bangsa di Aceh dan Sumatera Utara akibat tsunami pada Desember 2004, tiba-tiba Nias dan Simeleu berduka akibat  gempa susulan yang tidak kalah dahsyat dengan tsunami pada Maret 2005. Pasca itu, bencana seakan susul-menyusul tidak kenal berhenti. Di awal tahun 2006, Indonesia kembali diguncang bencana dahsyat berupa terjadinya tanah longsor di kecamatan Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara. 

Setelah itu, dari waktu ke waktu terus terjadi berbagai bencana di beberapa daerah di Indonesia. Masing-masing bencana tersebut tentu saja mengakibatkan sejumlah kerugian yang tidak sedikit, baik pada harta benda maupun pada hilangnya jiwa akibat jadi korban bencana. Menghadapi berbagai bencana yang terjadi, tentu saja kita tidak bisa hanya menunggu  adanya bantuan yang datang dari Pemerintah. Sebagai wujud kepedulian, seyogyanya, siapapun dapat segera tanggap untuk membantu mereka yang tertimpa bencana.

saat bencana menerpa, tidak perlu kita menuding siapa yang salah dan siapa yang paling bertanggungjawab dalam hal itu. Cukuplah kita bantu segera para korban bencana yang terjadi tanpa melihat latar belakang serta perbedaan yang ada pada diri korban. Dan bagi mereka yang selama ini terlibat di lapangan, khususnya kalangan NGO atau LSM yang memiliki konsens pada respons dan pengelolaan pasca bencana mengutamakan menolong korban jauh lebih penting dari sekedar berwacana dari mana atau apa yang menyebabkan bencana terjadi. Jangan sampai terjadi kembali lkasus-kasus yang terjadi pasca bencana yang berupa lambannya pemerintah serta aparatt yang datang dan membantu para korban bencana.

Kiprah NGO (LSM) dalam Penanganan Bencana
Di dalam penanganan bencana alam, masalah kelambanan pengelolaan adalah masalah klasik. Ini terus terulang dalam berbagai tempat bencana yang terjadi. Dimana-mana yang dalam penanggulangan akibat bencana alam bisa karena masalah dana, juga bisa karena kinerja, dan yang lebih parah jika suatu Pemerintah Daerah tak pernah membentuk tim atau gugus tugas untuk melakukan menejemen bencana. Padahal kita tahu bahwa dengan melakukan menejemen bencana dengan baik, dengan melibatkan para pakar, ahli serta mereka yang memiliki pengalaman memadai insyallah akan bisa sedini mungkin diketahui atau diprediksi kawasan rawan bencana dan kemungkinan-kemungkinan lain. Dalam kaitan tersebut misalnya, para pakar hidrologi bisa memperkirakan suatu kawasan yang memungkinkan terjadinya luapan air, bisa mengetahui penyebab dan memberi solusi untuk mengatasi atau mereduksi dampak surplus air akibat tingginya curah hujan. Pakar pertanahan bisa meneliti dan mengetahui dampak curah hujan yang tinggi pada struktur tanah. Sehingga bisa memberi peta sebagai ‘warning’ kepada para warga dan pejabat mengenai kawasan yang rawan longsor. Sedangkan pakar bangunan dan pakar tata kota bisa memperkirakan daya tahan suatu bangunan, kondisi riol, struktur bangunan dan perkiraan daya tahannya. Walaupun begitu, terkadang ada sebagian bencana yang terjadi tanpa bisa diprediksi terlebih dahulu, misalnya tiba-tiba sebuah tempat yang mengalami longsor. Ini terjadi bisa saja karena curah hujan yang tiba-tiba sangat tinggi, karena pusaran angin yang membawa awan bisa tiba-tiba berubah arah dengan kecepatan yang tinggi.

Meski demikian, menejemen bencana yang memadai diperlukan guna mengantisipasi sejumlah hal yang tidak kita inginkan. Salah satu sarana atau hal yang harus tersedia dalam proses antisipasi bencana adalah ketersediaan dana. Masalah dana adalah masalah yang cukup vital, mengingat  setiap kali terjadi bencana selalu saja kita memerlukan akselerasi penanggulangan dan rehabilitasi kawasan yang setiap hari digunakan masyarakat, seperti jalan, jembatan dan sebagainya, termasuk rehabilitasi rumah warga yang menjadi korban. Akibat dari itu semua, maka soal bencana alam akhirnya menjadi bagian dari otonomi daerah, karena tak bisa berharap banyak dari bantuan pemerintah pusat.
Selama ini rakyat yang tertimpa bencana alam selalu berharap banyak pada pemerintah setempat, dan sangat jarang korban bencana alam menyebut-nyebut bantuan dari pemerintah pusat. Sehingga ketangguhan suatu pemerintah daerah yang saat ini dalam era otonomi daerah, juga diuji dari kemampuannya dalam menanggulangi bencana alam. 
Bencana alam yang tak bisa diprediksi adalah gempa bumi, sehingga menejemen bencana lebih terarah pada daya tahan atau mutu bangunan. Namun mengingat bencana di Nias, dan kondisi bangunan di Indonesia, maka hal yang terpenting dari menejemen bencana di era otonomi daerah adalah ketersediaan dana pemerintah daerah.

Dengan adanya menejemen bencana yang rapi, maka soal penanggulangan akibat bencana alam tak lagi menempuh langkah improvisasi dalam masalah dana. Seperti diketahui, saat terjadi bencana alam, langkah pertama adalah penampungan sementara bagi para korban dan untuk ini diperlukan dana bagi pangan dan obat-obatan. Setelah itu upaya rehabilitasi yang memerlukan dana lebih besar.

Manajemen Kebencanaan
Pengelolaan kebencanaan dapat dibagi ke dalam 3 kelompok aktivitas, yaitu : pra bencana, (saat) bencana, dan pasca bencana.

Pra bencana: Pada masa pra bencana atau disebut juga sebagai fase penyadaran akan bencana, jajaran pers dapat memainkan perannya selaku pendidik publik lewat artikel ataupun berita yang disajikannya secara priodik, terencana, populer, digemari dan mencerahkan serta memperkaya khazanah alam pikiran publik dengan target antara lain : (1) peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang bencana, mekanisme quick respon, langkah-langkah resque yang perlu, cepat dan tepat untuk meminimalisasi korban serta menekan kerugian harta/benda, (2) pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui muatan-muatan artikel tematis yang bersifat penumbuhan kesadaran masyarakat terhadap potensi, jenis dan sifat bencana), (3) perencanaan pengembangan wilayah dan pertumbuhan tata-ruang; (4) pelestarian lingkungan.

Saat Bencana: Ketika bencana, disebut juga aktivitas emerjensi dan resque. Dalam periode ini dunia jurnalistik lebih menonjolkan penyajikan berita dan informasi yang bersifat menyejukkan hati para korban, mengurangi dampak susulan, menumbuhkan optimisme, di samping pengumuman-pengumuman identitas korban baik yang meninggal maupun yang mengungsi, alamat-alamat posko bantuan, lokasi puskesmas, poliklinik dan rumah sakit, lokasi pengungsian, serta melakukan peran kontrol terhadap kiprah para pelaku dan pemberi pertolongan yang kerap mengedepankan aktivitas kemanusian dan rasa kepedulian, dibalik keinginannya untuk mempromosikan diri ataupun organisasi. Hal tersebut di samping untuk memudahkan dan memperlancar sang korban sesegera mungkin memperoleh kebutuhan dasarnya, juga memberikan informasi bagi para relawan yang hendak membantu dalam penyediaan berbagai kebutuhan primer korban, seperti : (1) sandang dan pangan; (2) sarana berlindung, rumah/barak penampungan, kemah, payung, jas hujan, jaket/baju tebal, selimut, dsb; (3) sarana kesehatan diri (obat-obatan dan kebutuhan darah) dan kesehatan lingkungan (air bersih dan MCK di tempat pengungsian); (4) peralatan ibadah, sekolah dan olah raga; (5) perlengkapan/peralatan ibu-ibu hamil, bayi dan jompo; dll.

Laporan-laporan yang mendalam hasil investigasi langsung dari lokasi bencana memberikan muatan news value yang cukup signifikan, eksklusif, dan berbobot. Berita-berita seputar drama kemanusiaan yang sangat humanistik dalam proses pencarian, penemuan dan perjumpaan kembali dengan sahabat, kerabat dan famili yang hilang saat bencana merupakan potret utuh refleksi egalitarianisme serta keikhlasan manusia tanpa diembel-embeli oleh nilai-nilai materialisme, dan atribut-atribut sosial yang dalam kondisi normal mempunyai posisi tawar tertentu. Hal semacam ini tentunya sangat layak di tampilkan dalam rangka peneguhan aktualisasi diri pers di tengah masyarakat.

Pasca Bencana: Dalam keadaan pasca-bencana yang disebut juga sebagai periode recovery dan rehabilitasi, kegiatan-kegiatan pers dapat difokuskan dalam bentuk laporan-laporan secara luas dan mendalam, tentang konsep dan strategi pembangunan kembali infrastruktur, terutama fasilitas sosial dan fasilitas umum yang hancur/rusak akibat bencana, antara lain : (1) pembangunan kembali jalan, sekolah, rumah ibadah, saluran irigasi, dsb; (2) pembangunan sarana kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan; (3) pemberdayaan korban bencana; (4) bantuan pelayanan rehabilitasi mental dan cacat; (5) fasilitator proses repatriasi serta relokasi dan pemulangan kembali para korban, (6) pemberdayaan ekonomi dan sosial kebudayaan korban dan lain-lain.

Pak Nana
GM Marketing & Internal Affairs
PKPU-Lembaga Kemanusiaan Nasional

0 komentar:

Posting Komentar

Sahabat

Artikel Terbaru

Arsip Blog