“Menulis adalah pekerjaan manusia, mengedit pekerjaan dewa.” (Stephen King)
Benarkah editor itu seperti dewa? Benarkah mereka tak pernah salah? Hm, sebenarnya saya tak percaya akan adanya dewa. Tapi saya bisa memahami esensi dari pendapat Stephen King.
Dulu, ketika aktif di pers kampus dan masih berstatus reporter, saya sempat berselisih dengan seorang redaktur pelaksana (redpel). Saya mengkritik hasil editan dia. Tata bahasa yang sudah benar secara EYD seperti kalimat, “Pemerintah berada di balik rencana besar itu,” diubahnya menjadi "Pemerintah berada dibalik rencana itu." Saya ngotot, mengatakan bahwa yang benar adalah “di balik”, bukan “dibalik”. Tapi dengan angkuhnya dia berkata, “Sudahlah, yang redpel itu saya, bukan kamu!” Maka, saya pun hanya diam.
Ketika giliran saya yang menjadi redpel, saya menemukan media untuk “balas dendam”. Saya seperti melihat sehamparan ladang jagung yang dipenuhi oleh rumput liar. Saya akan membabat mereka semua hingga bersih, kecuali jagungnya tentu saja. Tapi saya tetap akan mengutak-atik jagung itu. Kalau perlu, daunnya saya ganti menjadi daun jati dan bijinya dicat berwarna pink. Saya punya wewenang penuh untuk melakukan semua itu, karena kini sayalah yang jadi “dewa”.
Tapi kemudian, saya terperanjat oleh aksi protes sejumlah penulis yang marah karena saya mengobrak-abrik tulisan mereka. Saya pun mengingat lagi pengalaman pahit ketika dulu naskah saya yang diobrak-abrik. Seketika saya sadar, ternyata editor tidaklah sepenuhnya “dewa”. Editor bertugas memperbagus sebuah tulisan, bukan mempemburuk hubungan baiknya dengan para penulis. Apapun yang dilakukan oleh editor, itu haruslah bisa memuaskan semua pihak; redaksi, penulis, dan pembaca.
Maka, saya pun mencoba menjadi seorang editor yang baik, walau terkadang kekejaman saya masih terlihat juga (memang, setiap editor punya potensi menjadi orang kejam. Tak usah malu-malu wahai editor sahabatku. Akui sajalah dengan jujur!).
Kini, saya kembali menjadi manusia, meninggalkan “dunia dewa” yang amat menyenangkan (walau kini jabatan saya di kantor adalah “content editor”, pekerjaan utama saya jauh dari hal-hal yang berbau editing. Tapi setiap pertengahan bulan saya mendapat hiburan karena berkesempatan mengedit naskah-naskah “internal newsletter” milik kantor saya). Sebagai manusia, saya membuat begitu banyak kesalahan.
Tapi saya bahagia ketika melihat tulisan saya dimuat di media tertentu, dan menemukan si redaktur berhasil menghilangkan kesalahan-kesalahan tersebut (tapi terkadang saya menyesalkan juga, karena mereka ikut menghilangkan dua atau empat paragraf karena alasan keterbatasan halaman. Tapi tak apalah, kita toh tak bisa menghindari hal-hal seperti itu).
Oleh: Jonru Ginting,
Pengasuh dan Direktur Sekolah Menulis Online pertama dan terbaik di Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar