Ditulis Oleh : Rahma Damayanty Rivai
Relawan PKPU yang Sebulan melakukan aksi kemanusiaan di Mentawai
“Saya sedang menonton sinetron di rumah pak guru ketika gempa datang. Guncangan tak sekuat gempa tahun 2007. Kami tidak terlalu panik, bahkan saya mengingatkan pak guru agar mengikat kedua speakernya yang terletak di atas lemari. Speaker itu hampir jatuh. Pak guru menyuruh saya untuk melihat di TV, apakah ada peringatan tsunami. Saya memutuskan berlari melihat ke arah pantai. Ombak setinggi gunung terlihat sudah mendekat. Saya berteriak,”Tsunami sudah datang” Saya tak peduli apapun lagi, saya hanya mendengar orang berteriak-teriak sementara saya berlari sekencang-kencangnya. Ombak menghempas tubuh saya. Saya ingat, saya memeluk sebatang pohon, tapi kemudian terlepas. Kemudian saya tak ingat apa-apa lagi. Ketika terbangun, malam masih gelap. Badan saya telanjang, kepala saya terluka. Saya memakai pakaian-entah punya siapa. Saya berjalan dalam gelap, membalikkan badan mayat-mayat yang bergelimpangan mencari keluarga saya”
(Kisah Rafika, korban selamat dari hantaman tsunami di Sabeugukgung tanggal 9 Maret 2011)
Ia menangis pelan. Kemudian digoyang-goyangkannya kepalanya. Seperti mengusir kepedihan. Saya memeluknya dan mengusap punggungnya. Seketika saya merasa bersalah. Teman-teman relawan sudah mewanti-wanti agar jangan mengorek kisah luka itu pada korban tsunami.
Saya pun tak ingat bagaimana awalnya hingga ia mau berkisah. Seingat saya, kami hanya berbicara hal-hal yang umum saja. Tapi, ku rasa ia perlu mencurahkan perasaannya. Jadi, kisah itu mengalir begitu saja.
Dalam gelap malam, dengan seluruh badan terasa sakit, ia mengalahkan segala kengerian, membalikkan badan mayat-mayat mencari sosok keluarganya. Entah mengapa, ia mencari ayahnya terlebih dahulu. Mungkin sebuah intuisi. Bahwa ayahnya tak bertahan dalam terjangan tsunami. Benar adanya. Paginya, ia menemukan ibunya di sebuah bekas warung dengan kaki sobek memanjang ke betis. Menangis dengan sedihnya. Ia peluk ibunya. Mereka bertangis-tangisan. Ia punya seorang kakak tapi ketika tsunami datang, kakaknya tak berada di kampung itu.
Fika mencari terus ayahnya. Ia bertemu dengan seorang pengurus gereja yang menunjukkan jenazah ayahnya yang telah diletakkan di bangunan yang dulunya gereja, sekarang tinggal fondasinya saja. Jenazah ayahnya telanjang. Gadis 15 tahun itu (kira-kira karena ia tak tahu berapa usianya sendiri) dengan segala kebesaran jiwa, mencari pakaian untuk ayahnya. Dan memakaikan pakaian untuk ayahnya. Untuk yang terakhir kalinya.
Air mataku tak terbendung sudah. Aku menangis bersamanya. Tapi justru ia lebih kuat. Fika bilang, baru inilah ia berkisah pada seseorang. Sebuah kisah yang tadinya ingin ia tutup rapat-rapat.
Aku terus mendengarkan kisahnya, sambil terus-menerus menghapus air di mata dan di hidungku. Walau bahasa indonesianya kurang lancar, tutur katanya dapat dipahami.
Ibunya terus-menerus menangis. Dengan segala keteguhannya, ia berujar,”Berhentilah menangis mak. Ayah sudah pergi. Dan tak akan kembali!”. Ketika jenazah, ayahnya telah dimakamkan bersama ratusan korban lagi, kakaknya baru datang. Dan di sana, di bawah hamparan nyiur kelapa, di bawah timbunan putihnya pasir pantai. Diiringan hening mencekam kematian. Kakak laki-lakinya-yang datang kemudian-menangis sesunggukan di atas pusara ayahnya. Bahkan Fika tak dapat lagi menunjukkan di mana tepatnya titik makam ayahnya, karena penguburan dilakukan secara massal di dalam lubang besar yang sama.
Di hari berikutnya saya mendapatkan kisah-kisah memilukan lainnya. Tentang seorang ayah yang kehilangan anak dan istrinya. Ketika gempa, ia sempat memeluk anak dan istrinya. Namun, tiang penyangga atap rumahnya seketika patah dan jatuh menghantam tengkuknya. Ia langsung termuntah darah, dan terlepaslah pegangan pada anak dan istrinya. Gelombang tsunami langsung menghantam sesaat setelah terlepas. Entah bagaimana ceritanya, si Bapak itu selamat sedang kedua orang yang paling dicintai dalam hidupnya, tak selamat. Bagaimana ia dapat selamat, ia enggan berkisah. Yang ia beritahukan, bahwa ia sering sekali muntah darah. Pertama kali aku melihatnya, wajahnya sepucat mayat. Tapi ia adalah seorang yang tak mau berpangku tangan. Aku melihatnya bersampan mencari ikan dan mengumpulkan papan-papan untuk membuat dapur pada rumahnya yang baru dibangun oleh PKPU.
Atau tentang seorang yang mengikatkan dirinya pada sebatang pohon kelapa dengan sehelai sarungnya. Tuhan menyelamatkannya karena sarung itu mengikat kuat dirinya dengan batang kelapa itu. Namun, dalam masa hantaman tsunami, ia berkali-kali tertelan pasir pantai. Sampai kisah ini ku dapatkan, bapak itu masih sering muntah dan berak pasir. Sesekali ia juga muntah darah.
Korban-korban tak selamat lainnya, menurut analisa relawan adalah mereka yang lari ke arah jembatan. Jembatan itu tepat di mulut muara sungai sabeugukgung. Gelombang tsunami menghempaskan para korban di atas jembatan jauh ke hulu sungai.
Di sanalah para relawan menemukan dan mengevakuasi sebagian besar korban tsunami di Sabeugukgung. Mereka tewas mengenaskan mengambang di antara kayu dan papan bekas rumah-rumah mereka sendiri bersama ternak babi yang mereka pelihara. Lain kali akan ku kisahkan soal evakuasi dramatis sesorang di sana.
Korban selamat juga bertutur, bahwa sebagian yang mati mungkin juga karena tak segera menyelamatkan diri tapi malah sibuk menyelamatkan harta benda sehingga tak sempat lagi menyelamatkan diri. Wallahu Alam bissawab. Hanya Allah yang paling tahu kebenarannya.
7 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar