Search

Content

Rabu, 28 November 2012

Perjalanan Kemanusiaan Menuju Rohingnya



Seperti biasa, konsentrasi pkpu tidak hanya pada saudara kita yang ada didalam negeri, yang memang merupakan prioritas utama. Ikatan atas rasa kemanusiaanlah yang kemudian juga menjadikan kami terus bergerak untuk juga membantu saudara yang berada di luar sana, yang seringkali tidak mendapat wadah cukup di media, bahkan seringkali tak ada tempat sama sekali untuk penyampaian penderitaan mereka.

Setelah Somalia, yang hingga kinipun masih terus kita dampingi, kondisi muslim di Rohingnya yang merupakan minoritas dan dianggap bukan warga Myanmar. Mengalami sejuta asa dan penderitaan. Kami mengumpulkan bantuan dan donasi dari saudara muslim yang ada di Indonesia yang kemudian dikawal agar sampai pada tangan-tangan yang membutuhkan. Melewati dan melampaui sekat batas kewarganegaraan, dengan segala resiko yang dihadapkan. Sekali lagi, atas nama kemanusiaan.

Berikut tulisan mba Rahma Damayanti dan foto-foto yang dokumentasi perjalanan Tim PKPU mendistribusikan bantuan ke Rohingnya.

On Rohingya Journey

Berkaca pada kota-kota di Myanmar, maka kita seperti terlempar pada situasi Indonesia 30 tahun yang lalu. Orang-orang lalu lalang dengan menggunakan sarung. Ke kantor, ke sekolah, atau ke tempat-tempat publik lainnya. Para perempuannya mengunakan sejenis bedak dingin di kedua pipinya. Fasilitas umum masih tertinggal dibanding kota-kota lain. Biaya bertelpon super mahal. Demikian Manager DRM memulai kisah perjalanan aksi kemanusiaannya di Sittwe, Myanmar di ruang salam pagi PKPU, Senin 19 November 2012.

Sebuah perjalanan bersama relawan DRM lainnya, Suharjoni. Aksi kemanusiaan dalam rangka mengemban beberapa amanah sekaligus untuk para pengungsi Rohingya di Sittwe, Ibukota negara bagian Rakhine, barat Myanmar. Amanah yang diemban antara lain, distribusi logistik bahan makanan pokok, pembangunan shelter dan pembangunan sumur pompa tangan di lokasi pengungsian, serta pelaksanaan ibadah kurban.


Keinginan PKPU untuk membangun shelter disambut cukup baik oleh pemerintah Sittwe. Sittwe memang daerah yang yang paling rawan di Myanmar. Kamp pengungsian terbesar berada di Sittwe. Jejak-jejakan kampung muslim yang terbakar masih terlihat jelas. Namun, untuk menyamarkan bekas pembakaran, pemerintah setempat menginstruksikan aparatnya untuk menebang pohon-pohon yang tersisa di bekas perkampungan yang terbakar. Tak ada sekolah untuk muslim Rohingya di Sittwe. Bahkan sekolah darurat sekalipun.  


Indonesia bagi para pengungsi Rohingya, bagaikan saudara lama yang bertahun tak bertemu.  Mereka sungguh antusias dan jernih menyambut kedatangan tim aksi kemanusiaan PKPU. Kerinduan pada saudara seiman yang peduli kepada nasib mereka di negeri yang tak mengakui keberadaan mereka.
Nobody's people in a no-man's land. Demikian AlJazeera.com menuliskan. Tanpa kewarganegaraan.

Kondisi kamp pengungsian sangat menyedihkan. Kamp compang-camping yang tak dapat menahan hujan. Anak-anak kecil yang sakit tidak diobati sebagaimana mestinya. Raut wajah penuh derita. Ekspresi kesedihan yang bisa ditutupi dengan senyum sekalipun. Lantai tenda usang itu hanyalah sebuah terpal yang sama kumalnya. Sebagian dari mereka bahkan memilih tidur beralaskan rumput memandang bintang di langit malam. Para lansia yang sakit seolah menunggu kabar kematiannya sendiri.


Berbeda dengan kamp pengungsian muslim Rohingya, kamp pengungsi budha dan hindu yang ikut terusir karena konflik, justru sangat baik keadaannya. Shelter mereka terlihat lebih bagus daripada rumah asli mereka. Kebutuhan perangkat rumah tangga jauh lebih lengkap. Pengungsi budha dan hindu, adalah pengungsi yang lebih berbahagia. Mereka mudah sekali bertepuk tangan untuk merayakan kebahagiaannya.


Komitmen PKPU adalah menolong lintas ras dan agama. Walau keadaan pengungsi rohingya sangat memprihatinkan, pengungsi budha dan hindu tetap menerima bantuan. Ini juga yang menjadi kunci, memudahkan pemerintah Sittwe memberikan izin pembangunan shelter untuk pengungsi Rohingya.


Tim PKPU tak semata mengunjungi dan mendistribusikan bantuan di Sittwe. Tim juga datang ke Ayeryawadhy, di pinggir kota Yangon. Desa ini desa yang terisolir. Dikepung desa-desa lain yang telah dialiri listrik dan jalan aspal yang bagus, desa ini gulita di kala malam. Jalan aspal berhenti ketika memasuki desa ini. Perbedaan yang jelas.


Konflik yang sempat memanas di akhir Oktober, menyebabkan jatuhnya korban tewas dan gelombang pengungsi rohingya yang baru di kamp Sittwe, memaksa para ulama lokal menyerukan pembatalan penyelenggaraan ibadah kurban. Festival kurban yang biasa dilakukan penduduk muslim Myanmar. Hari tasyrik, kebetulan juga jatuh di hari raya
full moon bagi umat budha. Festival kurban atau pemotongan sapi-sapi akan memicu konflik berikutnya.

Alhamdulillah, pemotongan hewan kurban dapat berjalan di beberapa tempat. Tentu, semuanya dilakukan dalam senyap dan tanpa keramaian. Sedang beberapa hewan kurban lain, dipotong dan didistribusikan sebagai kornet. Semua dilakukan dalam diam. Dalam kesunyian.


Sungguh, bukan perjalanan yang sederhana. Untuk mendokumentasikan kegiatan saja, dilakukan sembunyi-sembunyi. Selain doa dan persiapan yang rapi, sebuah aksi kemanusiaan juga harus disertai dengan banyak kerja keras, strategi, kreatifitas, improvisasi, serta sebuah kemampuan mengkomunikasi ide yang mempuni. Sebuah perjalanan yang mengajari sebuah kearifan. Tugas PKPU di Sittwe belum selesai. Demikian juga perjalanan ini belum akan berakhir.
Wallahualam.

Terima kasih kepada seluruh donatur, yang telah mengamanahkan harta terbainya untuk membantu saudara kita di Rohingnya, dan misi kemanusiaanpun masih berlanjut. Hari ini Tim PKPU sedang menuju Gaza, mencoba menembus dan menyalurkan bantuan untuk saudara kita di Gaza setelah sebelumnya di bombardir oleh Israel. mohon doa dari sahabat semua

Dok. Foto :

Source : https://plus.google.com/photos/115703126356304219831/albums/5794550171019074497/5794550199259326098

 1. Setelah 4 hari mencoba, akhirnya berhasil mendapat akses dan tiket pesawat ke kota Sittwe yang terlarang untuk orang asing. Sebuah kesempatan besar dan langka. 

Pesawat ATR 72- 500 siap menerbangkan saya (P Tommy) menuju Kota Sittwe ibu kota Rakhine State tempat terjadinya konflik antara Muslim Rohingya dan Budha Rakhine



 Gizi buruk mulai menyerang anak- anak di kamp pengungsian Baw Du Pha, 40 menit dari kota Sittwe.



Seorang pengungsi Rohingya sedang membuat rumah bambu di pengungsian Thet Kay Pyin, 30 menit dari Kota Sittwe. 

Pengungsi Rohingya tergeletak tak berdaya menunggu antrian pemeriksaan relawan dokter yang jumlahnya sangat terbatas di penampungan pengungsi Bumay Township. 



Relawan PKPU (bertopi) membantu mengangkat bantuan agar tidak kehujanan di Desa Aung Mingala, Kota Sittwe.








Warga Rakhine bebas beraktivitas dan bekerja di Kota Sittwe, sebaliknya Rohingya terkurung dalam blokade militer dan polisi.


 Sarah (nama samaran) tidak bersekolah dan terpaksa berjualan sirih sejak sekolahnya ditutup paska kerusuhan menerjang desanya, Aung Mingala.

0 komentar:

Posting Komentar

Sahabat

Artikel Terbaru

Arsip Blog