Search

Content

Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan
0 komentar

Asmaa' Mahfouz Wanita Pemberani Pengobar Revolusi Mesir



Jejaring sosial bukan lagi hanya sekedar tempat untuk narsis ataupun sekedar bermain, Jejaring sosial menjelma saat ini menjadi media alternatif disaat media-media konvensional seringkali bungkam. Ya, dengan "sosial network" andalah sumber berita, melalui blog, facebook, dan twitter kita mampu merubah wajah dunia sekalipun. Tentu saja semua mempunyai konsekuensi tanggung jawab di pundak kita, alih-alih membawa perubahan, justru berubah menjadi penipu ulung jika moralitas pemilik jejaring sosial itu sendiri bobrok.


Asmaa' Mahfouz, gadis Mesir ini menunjukkannya. Keberanian dan kelantangannya dia tunjukkan secara terbuka, tanpa identitas palsu maupun nama samaran. Dia tampil secara terbuka, merekam video sederhana di laman facebooknya dan kemudian tersebar secara luas di youtube. Video ini memuat pesan sangat penting dari dirinya, untuk menggerakkan nurani pemuda mesir untuk turun ke jalan berdemontrasi menuntut keadilan dan menggulingkan tiran. Dengan jilbab abu-abu dan berbaju hitam bergaris putih, dia mengajak masyarakat untuk ikut bersama dirinya turun berdemonstrasi dilapangan Tahrir pada 25 Januari 2011. Usianya baru 26 tahun saat itu.

Asmaa'a mulai tahun 2008 sudah terjun didunia pergerakan untuk memerangi ketidak adilan, setelah menyelesaikan pendidikan adminitrasi bisnis di Universitas Kairo. Tadinya, ia bekerja sebagai manajer keuangan di salah satu perusahaan broadband ,yang kemudian ditinggalkannya. Gerakan 6 April menjadi sarana aktualisasinya, sebagai salah satu penggagas. Melalui Facebook, berusaha mengumpulakn dan mengoordinasi dukungan mogok kerja yang dilakukan oleh buruh pabrik EL-Mahala El Kubra pada 6 April 2008. Saat mogok kerja itu benar-benar dilakukan, para pendukung yang berasal dari para blogger, wartawan independen dan aktivis ditangkap dan diperlakukan kasar oleh polisi dan antek rezim Husni Mubarak. Beruntung teman-teman pendukung lainnya berhasil mengumpulkan pengacara dan dukungan keamanan untuk melindungi mereka yang terlibat dalam aksi mogok kerja tersebut.



Bermula dari Gerakan Pemuda 6 April, Asmaa'a dan teman-temannya terus mengasah kemampuan untuk benar-benar menjadi seorang aktivis anti kekerasan, dari pengalamannya ia belajar banyak hal, mulai dari memahami jaringan kerja dan mengalahkan rasa takut ketika melakukan protes melawan rezim. Jaringan terus ditambah sembari tetap mengkoordinasikan dan mengorganisasi demonstrasi kecil. Sebagian besar aksi itu dilakukan melalui jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan blog.


Dalam melakukan aksinya, ancaman dan tekanan dari pihak rezim Husni Mubarak terus dihadapi gadis ini, sehingga sempat membuat khawatir ibunya. Puncaknya adalah saat mencuatnya revolusi Tunisia yang berhasil menjatuhkan rezim yang telah berkuasa selama 23 tahun, hal ini mengispirasi Aamaa' dan rekan aktivis yang lain, bahwa ada harapan untuk menumbangkan rezim ototriter. Disaat tekanan dan ancaman semakin keras menerpa, membuat banyak aktivis menggunakan nama samaran dalam blog atau website mereka. Namun Asmaa'bertindak lain, ia mendobrak semua ketakutan itu dengan merelease videonya pada tgl 18 Januari 2011, tanpa nama sasaran, tanpa topeng untuk menutup wajah. Keberanian dan tajamnya kata-kata darinya mampu membakar semangat pemuda Mesir untuk turun kejalan. Dan hasilnya kita bisa lihat saat ini, rezim Mubarak tumbang, dan situasi politik berupa pemilihan umum menunjukkan keterwakilan tanpa rekayasa.


Dari sini kita bisa melihat dan berbuat, akan seperti apa dan apa yang akan kita lakukan dengan facebook,twitter dan blog kita? 
Baca selengkapnya »
0 komentar

Inspirasi dari Pameran Peradaban Islam di Los Angeles



Jika berbicara mengenai dunia Muslim, media sering kali berfokus pada kebijakan luar negeri, terorisme dan perbedaan antara dunia Muslim dan Barat. Tapi, dalam buku 1001 Inventions: Muslim Heritage in Our World, profesor University of Manchester, Salim Al-Hassani, menghadirkan potret baru mengenai Muslim dengan menyoroti kemajuan seni dan sains mereka. Artinya bahwa dunia Islam telah memberikan sumbangsih besar terhadap teknologi yang dikembangkan dunia barat. Pesan itu hendak disampaikan dalam pameran ‘1001 Inventions: Discover the Muslim Heritage in Our World′ di California Science Center, Los Angeles.

Diane Perlov, Wakil Presiden California Science Center, mengatakan dunia barat begitu mengabaikan sumbangsih ilmuwan Muslim terhadap ilmu pengetahuan dunia. Sebabnya, melalui pemeran ini, pihaknya ingin mengkomunikasikan akar multikultural limu pengetahuan. “Pameran ini berupaya menunjukan adanya penemuan ilmiah bangsa di luar Eropa dan Amerika,” kata Diane Perlov.

 Replika temuan-temuan muslim yang interaktif

Pameran tersebut sekaligus meruntuhkan stereotipe bahwa Muslim identik dengan kekerasan. Dengan memaparkan kepada pengunjung tentang kekayaan warisan budaya Muslim, pameran ini berupaya menghilangkan pandangan negatif yang terbentuk dalam Orientalisme, yakni perspektif Barat tentang Timur yang kerap dikritik lantaran merepresentasikan secara keliru budaya Timur sebagai budaya yang kurang inovatif dan secara umum berseberangan dengan budaya Barat. Pandangan ini telah tersebar selama berabad-abad di Barat. Capaian-capaian ilmiah dari masa keemasan Islam pun mengejutkan semua pengunjung, terlepas dari apa agama mereka. Bagi banyak Muslim Amerika pun, pameran ini adalah kali pertama mereka belajar mengenai penemuan-penemuan itu, karena masa keemasan Islam adalah periode sejarah yang tidak diajarkan di kebanyakan sekolah di Barat.


 Al-Jazari membuat jam yang rumit, terutama Jam Gajah, yang dikenal sebagai jam yang akurat mengukur waktu

Meskipun era yang ditampilkan dalam pameran tersebut dipandang sebagai zaman keemasan Islam, era yang sama merupakan zaman kegelapan Eropa. Perbedaan ini disinggung dalam film pendek 1001 Inventions and The Library of Secrets (1001 Penemuan dan Perpustakaan Rahasia) yang ditayangkan pada awal pameran. Film ini dibintangi oleh aktor pemenang Academy Award, Ben Kingsley, yang memerankan ilmuwan Turki abad ke-12, Al-Jazari. Film tersebut bercerita seputar remaja abad ke-21 yang dipandu oleh Al-Jazari dalam sebuah petualangan untuk menemui para ilmuwan dan insinyur pada zaman keemasan Islam. Film ini memenangi penghargaan Film Pendidikan Terbaik di Festival Film Cannes 2010.

Begitu pengunjung menyusuri ruang pameran yang dihiasi warna ungu dan emas, mereka akan diarahkan menuju ekshibisi utama, yakni sebuah replika jam tenaga air setinggi 20 kaki—atau sekitar 6 meter—yang diciptakan oleh Al-Jazari. Di seberang jam ini ada sebuah model mesin terbang yang didesain oleh ilmuwan abad ke-9, Abbas ibn Firnas, yang dianggap sebagian orang sebagai ilmuwan pertama yang melakukan upaya ilmiah untuk menerbangkan manusia. Peragaan populer lainnya adalah sebuah lukisan kapal Zheng He (Cheng Ho), laksamana Muslim dari China abad ke-15, yang memiliki kapal dengan perkiraan besar seluas lapangan sepak bola.

Pameran tersebut juga menonjolkan para ilmuwan dan penemu non-Muslim, seperti Maimonides – tabib Yahudi abad ke-12 dari Kordoba, Spanyol – yang bekerjasama dengan para filsuf Muslim. Kehadirannya dalam pameran ini menandakan keberhasilan kemitraan lintas budaya yang dijalin para ilmuwan, yang menyumbangkan berbagai penemuan ilmiah terbesar dalam sejarah.

 Pameran dibuat sangat komunikatif

Sejarah kemitraan ini juga mencerminkan fakta bahwa para penemu dari masa keemasan Islam memang mengembangkan capaian pengetahuan dari para pendahulu mereka di zaman kejayaan Romawi dan Yunani, dan karya para ilmuwan Muslim pun nantinya dikembangkan oleh para penemu Eropa di zaman Renaissance.

Kesalingterkaitan ini memperlihatkan kekayaan warisan capaian pengetahuan yang sama-sama diupayakan manusia.
Pameran yang disponsori oleh Jameel Foundation -- organisasi akademik nirlaba-- itu dengan tema "1001 Inventions: Discover the Muslim Heritage in Our World". Dalam pameran ini, pengunjung yang datang tidak dikenai biaya dan bisa menyaksikan berbagai hasil temuan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam mulai dari abad ke-7.

 Antusiasme pengunjung dari berbagai kalangan

Pameran pertama telah usai diselenggarakan dengan memecahkan rekor di Musium Sains London dengan 400.000 pengunjung pada bulan Juni 2010 dan pameran kedua di Ikon & Sejarah Sultan Ahmed Square di Istanbul dengan 390.000 pengunjung. Pameran ini juga telah terselenggara di New York Hall of Science dan berakhir April 2011. Dan pameran yang penulis hadiri sekarang tengah berlangsung di California Science Center, Los Angeles, sebelum nantinya pindah ke National Geographic Museum, Washington DC pada 2012.

 Bandingkan Kapal milik Panglima Cheng Ho dengan kapal yg ditumpangi Marcopolo

Dengan ini, para pengunjung pameran dapat menyadari bahwa berbagai perbedaan antara Timur dan Barat saat ini dapat kita kesampingkan, karena sejarah menunjukkan bahwa penemuan-penemuan ilmiah terbesar yang masih digunakan sekarang sebetulnya adalah hasil dari kerjasama para ilmuwan dari seluruh dunia. (ah)

     Tulisan : Ust. Aidil Heryana
Baca selengkapnya »
0 komentar

Spirit Kecepatan



“Pilihan hidup kita sangat terbatas. Kita hanya memiliki kesempatan yang sedikit. Waktu hidup kita hanya beberapa puluh tahun, sementara kita bisa merasakan betapa cepat waktu berlalu. Sepuluh tahun rasanya sangat cepat, seperti hanya sehari dua hari saja”, kata seorang teman kepada saya. Ini merupakan pilihan pertama. Sebuah pilihan cara memahami dan menikmati kesempatan dalam kehidupan. Ternyata pilihan kita tidak banyak, maka harus segera mengambil dan memanfaatkan kesempatan. Jangan terlalu banyak berpikir, berdiskusi dan menimbang. Kita dituntut untuk mengambil keputusan dengan cepat, tidak boleh berpikir terlalu lama. Berhanti berarti mati, terlambat artinya tidak sama sekali. 

“Kita memiliki pilihan hidup yang tidak terbatas. Waktu hidup kita secara personal memang terbatas, namun ide dan visi kita jauh melampaui batas usia kemanusiaan yang kita miliki. Maka jangan gegabah mengambil keputusan, pikirkan masak-masak, agar tidak menjadi penyesalan karena kurangnya pertimbangan dalam mengambil keputusan”, kata seorang teman pula kepada saya. Ini merupakan pilihan kedua dalam cara memahami dan menikmati kesempatan dalam kehidupan. Bahwa kesempatan itu terbuka seluas-luasnya, selalu ada kesempatan kedua dan seterusnya. Jangan mengambil keputusan di bawah tekanan keadaan yang memaksa, karena pasti akan kurang pertimbangan.

Boleh saja kita memilih yang mana, karena pasti ada argumen yang melatarbelakanginya. Ada situasi dan kondisi yang menyebabkan kita memahami dan menikmati kesempatan dalam kehidupan dengan cara yang tidak sama. Sesekali waktu kita harus bertindak cepat, bahkan sangat cepat. Ada kondisi yang menyebabkan kita harus melakukan sesuatu dengan cepat, tanpa banyak pertimbangan dan pemikiran lagi. Kesempatan mungkin tidak akan terulang lagi, mungkin hanya sekali ini.

Seorang teman menceritakan kisahnya saat harus mengambil keputusan dengan cepat. Tanpa dinyana dirinya mendapatkan fasilitas green card dari pemerintah Amerika. Ia kaget karena merasa tidak pernah apply untuk mendapatkan green card Amerika. Ternyata ada saudaranya yang secara asal memasukkan nama dirinya untuk mendapatkan green card Amerika, dan berhasil. Ia dipanggil ke Kedutaan Besar Amerika di Jakarta untuk wawancara. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya untuk tinggal menetap di negara Amerika, namun sekarang ada kesempatan, dan tentu saja ini sangat jarang.

Jika ia tidak berangkat wawancara, berarti kesempatan itu hilang begitu saja. Namun jika ia berangkat wawancara, sesungguhnya ia tidak pernah punya orientasi untuk keluar dari Indonesia. Waktu sangat terbatas. Hanya sehari semalam ia harus memutuskan, apakah besok berangkat wawancara atau tidak. Tentu ia tidak memiliki banyak kesempatan untuk menimbang, bertanya, berdiskusi, atau bermusyawarah dengan banyak pihak. Ia dituntut untuk segera mengambil keputusan, apakah akan mengambil green card Amerika atau dilewatkan saja kesempatan yang sangat langka ini.

Dengan bismillah ia memutuskan datang wawancara, dan akhirnya mendapatkan green card Amerika. Hingga sekarang ia menetap di Amerika bersama keluarga, dari sebuah kejadian hidup yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bukankah dalam contoh kejadian itu, kesempatan kita memang sangat terbatas ? Kita benar-benar merasa tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir dan meminta banyak masukan dari sahabat dan keluarga. Kita harus mengambil keputusan untuk masa depan kita sendiri. Disinilah seni menjadi pemimpin atas diri sendiri, bahwa saat mengambil keputusan, kita hanyalah seorang diri. Ya kita menjadi orang yang “kesepian” karena tidak ada teman, saat harus memutuskan masa depan kita sendiri.

Namun ada pula kesempatan yang bisa berulang dan kita memiliki cukup banyak waktu untuk memutuskan pilihan. Saat anak saya lulus SMA, ia mengikuti SNMPTN tahun 2011 dan berhasil diterima di Unpad Bandung. Namun sembari menunggu hasil SNMPTN, ia juga mengikuti seleksi di Undip Semarang dengan jalur mandiri. Ternyata dua-duanya diterima. Bahkan sebelumnya ia juga mengikuti seleksi di sebuah universitas swasta dan dinyatakan diterima. Ada sangat banyak waktu baginya untuk menimbang, apakah akan memilih kuliah di Unpad atau Undip, atau di universitas swasta. Saya sampaikan kepadanya, bahkan seandainya dia tidak mau memilih sekarang, tahun depan ia masih memiliki kesempatan. Namun ia telah memutuskan mengambil sebuah pilihan.

Kadang kita bertemu peristiwa hidup yang “terduga”, karena bisa direncanakan, dan ada waktu untuk mengulang di lain kesempatan. Perhatikan saja perhelatan pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden RI. Ada banyak tokoh yang muncul dalam beberapa kali proses pemilihan Presiden, sejak tahun 2004, tahun 2009 dan nanti di tahun 2014. Artinya, untuk contoh seperti ini ada banyak kesempatan untuk menimbang, apakah akan ikut sekarang atau lima tahun mendatang. Momentum politik dan keberuntungan sangat perlu dipadukan untuk mengambil keputusan dengan berhati-hati.

Namun kadang kita bertemu peristiwa hidup yang “tidak terduga”, dan diluar perencanaan, sehingga waktu kita sangat terbatas untuk segera mengambil keputusan. Pada kondisi seperti ini, tentu sangat wajar jika keputusan yang diambil kurang mendapatkan banyak masukan dan pertimbangan dari banyak kalangan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kedua peristiwa tersebut selalu terjadi, dan diperlukan kearifan para pemimpin untuk menentukan apakah harus mengambil keputusan cepat, atau masih ada waktu untuk menundanya. Ada peristiwa yang memerlukan tindakan sangat cepat, dan ada peristiwa lain yang tidak memerlukan kecepatan tindakan.

Misalnya, dalam memberantas korupsi diperlukan tindakan dan aksi yang cepat agar tidak menjalar dan semakin parah kondisinya. Namun dalam memberikan statemen publik, tidak memerlukan kecepatan. Karena kalau semua peristiwa dikomentari dengan cepat, justru akan menimbulkan kesan reaktif dan reaksioner. Kesannya menjaga imej, menjaga citra diri, dan upaya bersih diri. Sebentar sebentar komentar, sebentar sebentar konferensi pers, sebentar sebentar menyebar rilis ke media. Jika pemimpin sangat reaktif dalam memberikan statemen publik, justru bisa berdampak kontra produktif.

Dalam menanggulangi kemiskinan dan pengangguran, diperlukan program dan aksi yang cepat, agar tidak menjadi patologi sosial yang semakin membahayakan. Namun bentuk dari “program cepat” ini bukanlah semata-mata membagi-bagi uang setiap bulan kepada orang miskin. Karena khawatir disebut lambat, maka langsung membuat program “cash anda carry” berupa pembagian jatah uang bulanan bagi orang miskin. Tentu saja uang itu bermanfaat, namun tidak akan menyelesaikan persoalan kemiskinan dalam jangka panjang. Apalagi jika sekedar membagi nasi bungkus gratis setiap hari. Itu baru menyelesaikan problem sesaat, belum menyentuh akar persoalan.

Dalam kehidupan pribadi kita, sering kita jumpai peristiwa kehidupan yang harus segera kita eksekusi, tidak bisa berlama-lama. Namun banyak pula peristiwa yang memberikan kesempatan kepada kita untuk merespon dengan cermat, karena ada banyak waktu yang tersedia dan bisa menimbang dengan seksama. Kitalah yang menjadi eksekutor, apakah sebuah peristiwa harus disikapi dengan cepat, atau bisa disikapi dengan lambat. Tingkat kesalahannya bisa sebanding, antara kesalahan karena terlambat menentukan keputusan, dengan kesalahan karena terlalu cepat mengambil keputusan. Tergantung konteks kejadian yang sedang dialami dan tingkat kemendesakan dari keputusan yang harus diambil.

Inilah seni kehidupan. Sulit diteorikan. Ada yang harus cepat, ada yang harus lambat. Anda yang harus mengambil pilihan, karena resiko dari kecepatan dan kelambatan itu semua harus anda tanggung sendiri. Berdoalah selalu untuk meminta bimbingan Tuhan, agar secepat apapun dan selambat apapun keputusan anda ambil, semua dalam bimbingan Tuhan.

(Kalau minum teh poci, saya suka lambat. Tidak mau cepat cepat. Karena poci adalah seni menikmati teh, bukan sekedar minum).

Pancoran Barat, 23 Juli 2011
Baca selengkapnya »
0 komentar

Semua Kesungguhan Akan Menjumpai Hasilnya



Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan. Kadang kita mengalami peristiwa hidup tidak seperti yang kita inginkan, bisa jadi salah satu penyebabnya adalah kurangnya kesungguhan dalam menggapainya. Kita terlalu santai, atau pasrah sebelum bekerja keras mencapai cita-cita.

Cobalah sedikit kita tengok kesungguhan orang-orang Hollywood bekerja menghasilkan karya film. Kesungguhan mereka tampak dalam besaran biaya yang dikeluarkan untuk proses pembuatan film, dan tampak pula dari kualitas produk yang dihasilkan. Kita tercengang melihat kesungguhan insan perfilman Hollywood yang mudah sekali menghamburkan dana ratusan juta dolar Amerika, demi memuaskan ambisi mereka. Padahal, dari keseluruhan usaha dan kesungguhan tersebut, hasilnya hanyalah : sebuah film !

Ya, film berdurasi dua jam. Diputar di bioskop dan layar televisi. Sekali orang menonton, mungkin ada yang mengulang menonton sekali lagi. Setelah itu bosan, tidak akan mengulang menontonnya lagi. Seluruh kesungguhan tim dalam menggarap sebuah film, mengeluarkan dana ratusan juta dolar Amerika, dan hasilnya hanyalah panggung hiburan. Hanya film. Sebuah khayalan, sebuah ketidakseriusan, ketidaksungguhan, karena bernuansa fiksi walau diangkat dari kisah nyata yang pernah ada.

Coba kita perhatikan. Film Avatar menjadi film paling mahal yang ada saat ini. Film yang diproduksi James Cameron ini menghabiskan biaya 500 juta dolar Amerika untuk pembuatannya. Berikutnya adalah film Pirates of the Caribbean: At World’s End buatan Gore Verbinski, menghabiskan biaya 300 juta dolar Amerika. Peringkat ketiga adalah film Spiderman 3 produksi Sam Raimi, menelan biaya produksi 258 juta dolar Amerika.

Peringkat keempat adalah film Pirates of the Caribbean: Dead Man’s Chest buatan Gore Verbinski, memerlukan biaya 225 juta dolar Amerika. Peringkat kelima adalah film X-Men: The Last Stand produksi Brett Ratner yang menghabiskan dana 210 juta dolar Amerika. Setelah itu barulah film Titanic. Film produksi James Cameron tahun 1997 ini menghabiskan biaya 200 juta dolar Amerika, padahal pembuatan kapalnya sendiri “hanya” memerlukan 123 juta dolar Amerika pada masanya.

Pada contoh film Avatar, biaya produksi 500 juta dolar Amerika dianggap kecil, karena sampai dengan awal tahun 2010 kemarin telah menghasilkan uang US $ 1,840,797,418. Fantastik, baik dana pembuatan maupun hasil yang didapatkan dari pemutaran film Avatar di seluruh dunia, selama setahun saja. Dari modal US $ 500 juta, hanya setahun di pasaran, sudah kembali US $ 1,8 M.

Coba kita rupiahkan, dengan kurs US $ 1 sama dengan Rp 8.600. Biaya pembuatan film Avatar adalah Rp 4.300.000.000.000 atau 4,3 trilyun rupiah. Bisakah kita hitung, proyek dakwah apakah yang bisa dibiayai dengan 4,3 trilyun rupiah ? Proyek kebaikan apa saja yang bisa dihadirkan dengan sediaan dana 4,3 trilyun rupiah ? Mimpi apa saja yang bisa terwujudkan oleh dana sejumlah itu ? Cobalah kita buat proposal untuk menghabiskan dana pembuatan film Avatar itu. Ternyata mereka habiskan begitu saja demi membuat hiburan bernama film.

Di Hollywood, dana 4,3 trilyun rupiah ternyata hanya diwujudkan dalam sebuah tayangan berdurasi sekitar 2 jam. Ya, hasilnya hanyalah film, hanya hiburan, hanya khayalan, hanya ketidaksungguhan. Padahal prosesnya sangat bersungguh-sungguh, namun hasilnya berupa hiburan dan tontonan saja. Kita sering mendengar keluhan sulitnya menghadirkan tuntunan, karena tidak ada yang serius membiayai, sedangkan untuk tontonan begitu mudah orang mengeluarkan biaya.

Dengan kurs yang sama (kita samakan kurs-nya sekedar untuk memudahkan penghitungan), kita bisa menghitung produksi film Titanic menghabiskan biaya Rp 1.720.000.000.000, atau 1,72 trilyun rupiah. Dana itu juga dianggap murah, karena sampai awal tahun 2010 telah mengeruk keuntungan sebesar US $ 1,835,300,000 atau sama dengan Rp 15.783.580.000.000, yaitu sekitar Rp 15,8 trilyun.

Jika kita ambil sampel enam film itu saja, total biaya produksinya mencapai US $ 1.693.000.000, atau sekitar Rp 14.559.800.000.000. Ya, 14,5 triliun rupiah hasilnya hanyalah enam buah film, enam tontonan, enam hiburan. Uang dalam kisaran Rp 14 triliun, apakah yang bisa dilakukan di Indonesia dengan uang sejumlah itu ? Coba kita tengok salah satu program pemerintah Indonesia, yang dikoordinasikan oleh Kementrian Koordinator Kesra.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mengatakan, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 14 triliun untuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri pada tahun 2010 kemarin. Menko Kesra menyatakan, peningkatan alokasi anggaran untuk PNPM bisa membantu masyarakat untuk membangun dan mengembangkan potensi diri hingga bisa keluar dari kemiskinan.

Menurut Menko Kesra, PNPM Mandiri merupakan wadah pembelajaran bagi masyarakat terhadap nilai moral dan etika, “Masyarakat dibimbing untuk membangun kemitraan dalam mewujudkan keinginan bersama”. Agung Laksono menyebutkan, jumlah tersebut meningkat jika dibanding tahun 2009 yang sebesar Rp 9,9 triliun. Peningkatan ini karena respons masyarakat terkait program PNPM sangat positif. Dengan program ini masyarakat dibina dan diberdayakan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi yang baik, menguatkan semangat kegotongroyongan sosial dan ekonomi dalam rangka meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat.

Kita bisa melihat anggaran PNPM Mandiri selama satu tahun hanya setara dengan biaya pembuatan enam buah film Hollywood saja. Enam film itu kalau kita lihat berturutan hanya memerlukan waktu satu hari saja. Padahal jika digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat, ternyata bisa menjadi program nasional selama satu tahun. Luar biasa etos dan kesungguhan insan perfilman Hollywood, tidak berhitung uang yang dikeluarkan, demi sempurnanya produk sesuai yang diharapkan.

Lalu bagaimanakah dengan kesungguhan kita melakukan proyek kebaikan selama ini ? Bagaimana kesungguhan kita melakukan proses pembangunan manusia Indonesia seutuhnya ? Bagaimana kesungguhan kita dalam melakukan dakwah ? Sudah pasti, kesungguhan tidak bisa diukur dari banyaknya dana yang dikeluarkan. Namun perbandingan tadi saya angkat dalam rangka untuk menunjukkan betapa sebuah hiburan, sebuah tontonan, ternyata dibangun dari kerja keras dan kesungguhan menghadirkan berbagai hal terbaik, sehingga biayanya menjadi mahal.

Sekedar membuat tontonan 2 jam, proses pembuatannya berbulan-bulan, menggunakan berbagai peralatan canggih, menghimpun sangat banyak pakar dan keahlian, melibatkan ratusan hingga ribuan orang dalam pembuatannya. Mereka sangat perfect dalam pengambilan gambar, sehingga harus melakukan latihan serius dan harus mengulang-ulang adegan demi mendapat hasil yang sempurna. Tidak jarang harus membuang banyak bagian karena hasilnya tidak memuaskan. Dalam proses animasi, mereka menggunakan teknologi super canggih untuk mendapatkan hasil maksimal. Bayangkan bagaimana harus menggambarkan proses tenggelamnya kapal Titanic agar tampak seperti nyata.

Sementara untuk melakukan kebaikan, kadang belum tampak usaha yang serius dan belum tampak kesungguhan yang optimal dalam merancang maupun menjalankan programnya. Padahal yang akan dihasilkan bukanlah tontonan, bukanlah hiburan, namun sebuah peradaban yang nyata. Kita masih banyak permakluman dan permaafan kepada kegiatan yang ala kadarnya, yang kurang terencana, yang kurang bagus manajemennya. Semua kita maklumi sendiri, dengan alasan masih belajar, sedang berproses, harus bersabar, dan lain sebagainya.

Padahal kita tidak sedang mengada-ada tentang gambaran kapal Titanic, yang kita lakukan justru membangun sebuah kapal peradaban sesungguhnya. Kapal yang tidak boleh pecah dan karam. Kapal yang akan membawa kehidupan menuju kepada kebaikan dan cahaya. Kapal yang akan menjauhkan penumpangnya dari kerusakan, dan membawa mereka semua dalam bimbingan Ketuhanan. Kapal yang akan menghantarkan kepada pulau harapan. Seharusnya dilakukan dengan segenap kesungguhan jiwa, dilakukan dengan segenap pikiran dan perasaan. Bukan ala kadarnya, bukan semaunya, bukan sesempatnya.

Sudahkan kita bersungguh-sungguh melakukan kebaikan ? Sudahkah kita menghadirkan segenap kesungguhan dalam kerja di medan perjuangan ? Ingatlah, hasil akhir yang kita dapatkan bukanlah sebuah hiburan, bukanlah sebuah tontonan, namun sebuah peradaban. Sebuah kehidupan. Sebuah harapan.

Mari bekerja sepenuh kesungguhan.

(cahyaditakariawan.web.id)
Baca selengkapnya »
0 komentar

Menentukan Sikap Hidup


Dua orang lelaki singgah di sebuah kedai kopi di pinggir jalan yang mereka lalui. Rasa haus dan lapar membuat mereka sejenak menghentikan perjalanan untuk sekedar istirahat dan sekaligus menyantap makanan ringan serta kopi panas di kedai tersebut.

Kedai kopi itu sepi saja, tak ada pengunjung lainnya. Hanya mereka berdua yang datang pada saat itu. Segera mereka mendekat ke counter tempat pemesanan. Namun penjaga kedai tampak sangat cuek dan tidak mempedulikan kehadiran dua tamunya. Si penjaga asyik dengan urusannya sendiri dan sama sekali tidak menyapa kepada dua lelaki yang datang.

“Kopi hitam dua bang, tanpa gula”, kata lelaki pertama memesan minuman.
Penjaga kedai tidak menjawab apapun. Wajahnya cemberut. Ia masih tampak asyik mengerjakan urusannya sendiri tanpa peduli pesanan pembeli.
Merasa lama tidak segera dilayani, lelaki pertama kembali mengulang pesanannya.
“Maaf bang, bisa dibuatkan dua gelas kopi hitam tanpa gula ?”
Sambil bersungut-sungut akhirnya penjaga kedai mulai melayani pesanan tersebut. Tanpa berkata-kata, dan tanpa menunjukkan sikap yang ramah kepada kedua tamunya.
Lelaki kedua tampak emosi. Ia merasa marah melihat perlakuan penjaga kedai tersebut. Ia tidak terima mendapat perlakuan yang tidak sopan seperti itu.

“Ayo kita pergi saja dari tempat ini. Masih banyak kedai kopi lainnya di sepanjang jalan ini. Kita sama sekali tidak dihargai”, kata lelaki kedua kepada temannya.

“Sabarlah sebentar. Kau lihat ia sedang mengerjakan pesanan kita. Nanti juga selesai pesanan kita. Ayo kita ambil tempat duduk”, jawab lelaki pertama kalem, sambil menuju kursi tempat duduk yang telah disediakan.

“Tapi penjaga itu sangat tidak sopan. Harusnya ia menghargai dan menghormati kita sebagai pembeli. Kamu terlalu baik kepada penjaga itu”, bantah lelaki kedua dengan ketus dan nada tinggi.
Beberapa saat kemudian dua gelas kopi hitam telah selesai dibuat dan dihidangkan. Lagi-lagi, penjaga kedai menghidangkan kopi ke meja kedua tamunya itu tanpa keramahan sama sekali. Wajahnya masih tampak cemberut dan tidak ada satu kalimatpun keluar dari bibirnya.

“Terimakasih telah membuatkan kopi. Ada pisang goreng keju ?” kata lelaki pertama.
Penjaga kedai hanya mengangguk kecil.
“Saya minta dua porsi pisang goreng keju”, lelaki pertama melanjutkan.
Penjaga kedai itu kembali ke posisi kerjanya, membuatkan pisang goreng keju. Lelaki kedua bertambah kesal dan jengkel atas sikap penjaga kedai itu.

“Aku heran, mengapa engkau mau berkata dan bersikap sopan seperti itu kepada penjaga kedai yang kurang ajar dan tidak tahu sopan santun. Kalau aku mending pergi mencari kedai lain yang penjaganya lebih sopan dan mau menghargai tamu. Terus terang aku tersinggung dengan sikapnya yang tidak memiliki penghormatan”, kata lelaki kedua, masih dengan emosi.

“Jika begitu, engkau sama saja dengan penjaga kedai itu,” jawab lelaki pertama kalem.
“Tapi mengapa engkau bersikap sopan kepada dia, sedangkan dia tidak bersikap sopan kepada kita?” bantah lelaki kedua.

“Mengapa aku membiarkan dia mengatur sikapku ? Perkara dia bersikap tidak sopan dan tidak menghormati, itu urusan dia sendiri. Namun aku memiliki sikap sendiri yang tidak tergantung dari sikap orang lain”, jawab lelaki pertama.

“Kalau kita marah dan emosi melihat sikap dia kepada kita, berarti sikap kita diatur oleh penjaga kedai itu. Artinya sikap hidup kita telah diatur oleh orang lain, bukan oleh diri kita sendiri. Padahal kitalah yang harus menentukan sikap kita sendiri, karena kita yang harus mempertanggungjawabkan setiap sikap dan tindakan yang kita lakukan”, jawab lelaki pertama.

Tentukan sendiri sikap anda. Mengapa menunggu orang lain berbuat baik kepada kita, baru kita mau berbuat baik kepada orang lain ? Mengapa menunggu orang lain menghormati kita, baru kita mau menghormati orang lain ? Mengapa menunggu orang lain bersikap sopan kepada kita, baru kita mau bersikap sopan kepada orang lain ? Padahal kalaupun orang lain kurang ajar kepada anda, itu urusan dia sendiri yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan manusia dan di hadapan Tuhan.

Anda adalah pemilik otoritas atas sikap hidup yang harus anda ambil, bukan orang lain. Karena kita yang harus mempertanggungjawabkan semua sikap dan perbuatan kita sendiri, bukan orang lain. Maka, berbuat baiklah, tanpa harus menunggu orang lain berbuat baik kepada kita. Bersikap ramahlah, tanpa harus menunggu orang lain ramah kepada kita. Berlaku sopanlah, tanpa menunggu orang lain sopan kepada kita. Minta maaflah, tanpa menunggu orang lain meminta maaf kepada kita. Maafkanlah, tanpa menunggu orang lain memaafkan kita.

Jaga diri anda, jangan sampai perbuatan buruk orang lain mempengaruhi diri anda. Karena ada orang bersikap kasar kepada anda, tiba-tiba anda bertindak lebih kasar lagi kepada dia. Karena ada orang marah kepada anda, tiba-tiba anda lebih marah lagi kepada dia. Karena ada orang pelit kepada anda, tiba-tiba anda lebih pelit lagi kepada dia. Anda telah dipengaruhi dan diatur oleh sikap orang lain. Sikap anda reaktif menunggu apa sikap orang kepada diri anda, baru anda mengikuti atau membalasnya. Anda tidak boleh kalah oleh keburukan orang, anda harus menjadi diri anda sendiri.

“Maka tentukan sikap yang jelas. Karena kita adalah penentu sikap hidup kita sendiri. Jangan sampai orang lain mengatur sikap hidup kita sehari-hari”, kata lelaki pertama, santai sekali.

Tak berapa lama, pesanan pisang goreng keju pun dihidangkan. Penjaga kedainya tetap yang tadi. Wajahnya cemberut, tidak menunjukkan sikap ramah sama sekali. Ia menaruh dua piring pisang goreng keju di atas meja kedua tamunya, dan segera berlalu. Tanpa satu kalimatpun diucapkan, tanpa sedikitpun senyuman.

“Terimakasih telah membuatkan pisang goreng keju”, kata lelaki pertama.

Lelaki kedua menghela nafas panjang…….
Panjang sekali !

Baca selengkapnya »
1 komentar

Bahagianya Sederhana, Sederhananya untuk bahagia

Sudah beberapa bulan ini saya selalu mengamati teman saya satu ini. Usianya tak lagi muda, kepribadiannya gak banyak bicara lebih banyak senyumnya, tapi jangan dikira dia rendah diri, dia penuh senyum dan pe de selalu walau motor bebek tunggangannya bener bener sangat sederhana, kayaknya gak bakalan ada di indonesia.

Semua orang geleng geleng dengannya, kok ya maunya memutuskan hidup seperti itu padahal kalo mau, sepertinya dia bisa saja membeli mobil yang cukup murah di kota Phnom Penh ini dibanding harga mobil di tanah air. Tapi itu tidak dilakukannya, dia cukup bahagia dengan apa yang dipunyainya.

Kata orang sih “kalo mau sukses, bertemanlah dengan orang yang telah sukses!”, rasanya rugi besar kalo tidak bertanya kepada teman ini rahasia suksesnya hidup sederhana dan bahagia.

Ternyata teman kita ini dulunya pernah bekerja di Jakarta selama beberapa tahun, dia bercerita kehidupan yang begitu ketat dan pergaulan yang konsumtif membawanya pada kebiasaan kebiasaan hidup gaya metropolitan. Kartu kredit punya 4 (emapat), gadget HP terbaru, lewat 6 bulan kudu ganti lagi dan hang out setiap minggunya. Mobil bekas nyicil begitu pula motor untuk anaknya yang beranjak SMA itu. Tiap bulan jantung jedag jedug karena debt collector menyambangi pintu entrance kantornya. Asal ada pria hitam berperawakan sangar berdiri, dia udah trauma duluan.

Akhirnya hidup sudah tidak terasa nyaman lagi, di luar orang lain mengira dia baik baik saja, padahal baginya besok pagi adalah neraka. Istrinya menyarankan mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi lagi dan akhirnya terdamparlah dia di Kamboja ini, 5 tahun lebih dulu dibanding saya.

Dengan bekal trauma itu, dia belajar merubah gaya hidup terlebih teman teman lokal yang dipilih untuk berinteraksi adalah teman teman lokal golongan biasa biasa saja sehingga mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan membeli motor bebek, belajar makan makanan tradisional mereka, gaya hidup, dsb.

Dengan gaji expat, pengeluaran lokal, membuat hidupnya makin baik yang akhirnya dapat memboyong anak dan istrinya untuk hidup di sini. Aset aset yang ada dijual dan seluruh hutang dilunasi. Anak anaknya yang beranjak ABG pertama tama protes, karena nggak bisa gaul di sini, boro boro sekelas DUFAN lha bisokop sekelas 21 aja nggak ada di sini, tapi lambat laun semuanya terbiasa malah lebih senang katanya.

“Kenapa?” tanya saya suatu hari. Anak anak itu berbicara tentang pergaulannya yang internasional karena sekolah di internasional school dengan teman teman dari berbeda negara, yang biaya sekolahnya bisa jauh lebih murah dibanding sekolah lokal ngetop di Jakarta, bebas macet, lingkungan yang sederhana, gak malu kalo pake baju gak bermerk, la wong merk aja orang orang sini gak paham paham banget kok.

Dengan hidup sederhana itu, dia otomatis cuman nabung saja dan setelah beberapa tahun menabung, akhirnya tercipta 6 rumah kos kosan tanpa kredit dari bank yang sekarang dikelola oleh ibundanya yang tinggal seorang diri di kampung.

“Melihat tabungan kita tambah besar dan besar setiap bulannya, membuat hidup saya tambah pe de mas boy” ujarnya suatu hari. “Di sini enak, orang gak perduli kita pake apa, demikian juga orang indonya sendiri disini, mereka maklum kalo kita hidup di rantauan, jadi gak perlu ada gengsi gengsian lah” tambahnya.

Dari pengalamannya ini membuat saya berpikir dan menarik kesimpulan bahwa faktor lingkungan memang sangat membawa andil dalam sikap dan prilaku kita ternyata. Informasi dan rayuan rayuan dalam bentuk iklan di TV tidak banyak pengaruhnya dibanding pengaruh dasyat dari pergaulan, pergaulan dimana orang gak perduli anda pake HP merk apa, baju merk apa dan mobil jenis apa adalah suatu keadaan yang mungkin sangat jarang di temui di kota kota besar di Indonesia.

sumber: http://boyindra.com/2011/02/21/bahagianya-sederhana-sederhananya-untuk-bahagia/#comments
Baca selengkapnya »
0 komentar

Bukan demi untuk marah menanam anggrek



Alkisah, di sebuah padepokan yang asri, tampak sang Guru sedang bersantai memandangi pohon-pohon bunga anggrek yang tertata artistik, terawat, dan sedang mekar dengan indahnya.

Pada suatu hari ketika hendak berkelana, dia berpesan kepada muridnya, "Anakku, gurumu akan pergi mengunjungi kakek guru dan saudara-saudara seperguruan lainnya. Tetaplah rajin belajar dan berlatih. Dan jangan lupa untuk hati-hati merawat tanaman bunga anggrek kesayangan gurumu ini.”


Murid yang menerima pesan itu, dengan teliti memelihara pohon-pohon bunga anggrek tersebut. Namun, pada suatu hari, ketika sedang merapikan dan menyiram bunga-bunga anggrek, tanpa sengaja dia menyenggol rak-rak pohon tersebut. Prang! Bunyi keras mengiringi berjatuhannya pot -pot bunga anggrek yang pecah berantakan dan tanaman anggrek pun berserakan di sekitarnya.

Murid itu dengan rasa panik dan ketakutan berusaha membenahi sebisanya. Tetapi apa daya, hanya sedikit yang terselamatkan. Dengan rasa was-was, dia pun menunggu gurunya pulang untuk meminta maaf dan siap menerima hukuman apapun yang akan diberikan nantinya.

Setelah sang Guru pulang dan mendengar kabar itu, ia lalu memanggil para muridnya. "Guru, ampun Guru! Saya mengaku salah telah mengecewakan dan merusak bunga anggrek kesayangan Guru. Saya siap menerima hukuman..." sela si murid dengan penuh sesal.

Sambil tersenyum bijak sang Guru berkata, "Muridku. Memang bunga anggrek adalah bunga kesukaan Gurumu ini, maka Guru merawatnya dengan baik sehingga berbunga dengan indah. Perlu kamu ketahui, Gurumu menanam bunga anggrek, alasan utamanya adalah untuk menikmati indahnya warna-warni bunga-bunga anggrek sekaligus untuk memperindah lingkungan di sekitar sini. Bukan demi untuk marah Guru menanam pohon anggrek ini.

Walaupun menyukai bunga anggrek tapi Guru tidak terikat akan bunga-bunga itu, karenanya Guru tidak perlu marah karena anggrek. Tetapi lain kali mengerjakan apapun harus lebih hati-hati. Bunga anggrek bisa ditanam lagi, tapi ketidakhati-hatian adalah sikap yang harus selalu diwaspadai karena bisa berakibat negatif dan berdampak buruk bagi siapa pun.”

Sahabat yang Luar Biasa!

Perkataan sang Guru sungguh benar, "Bukan demi untuk marah menanam tanaman anggrek".

Kita pun bisa belajar dari sini. Seandainya amarah sedang menguasai kita, cobalah berhenti sejenak dan berpikir, "Bukan demi marah menjadi sahabat,” "Bukan demi marah menjadi suami istri,” dan “Bukan demi marah melahirkan dan mendidik anak.”

Dengan demikian, sikap toleransilah yang akan muncul. Kemarahan akan mencair dan damai pun akan menyertai hati kita. Ketika kita hendak bertengkar dengan sahabat, orang rumah, atau keluarga, hendaklah perlu diingat, perjumpaan yang telah terjadi, bukan demi untuk rasa marah, tapi sepatutnya untuk disyukuri.

Mari kita semua belajar untuk berlapang dada sehingga kehidupan akan damai penuh sejahtera!

Salam sukses luar biasa!

[Andrie Wongso]
Baca selengkapnya »
0 komentar

Inspirasi Kesederhanaan Seorang Pemimpin



Suatu ketika, Abu Bakar r.a. pergi ke pasar hendak menjual beberapa kain dagangannya. Saat itu beliau belum lama dibaiat menjadi khalifah. Di tengah perjalanan, beliau berjumpa dengan Umar ra. Umar pun menyapa, “Wahai Abu Bakar, engkau mau kemana?”
“Ke pasar,” jawab Abu Bakar.

Umar berkata, “Jika engkau sibuk dengan perdaganganmu, lalu bagaimana dengan urusan Kekhilafahan?”
Abu Bakar balik bertanya, “Kalau begitu, bagaimana aku menafkahi istri dan anakku?”
“Kalau begitu, mari kita menemui Abu Ubaidah. Dia akan menetapkan santunan untukmu dari Baitul Mal,” kata Umar.

Keduanya lalu pergi menemui Abu Ubaidah. Abu Ubaidah kemudian menetapkan santunan (bukan gaji, pen.) dari Baitul Mal sekadar memenuhi kebutuhan dasar Abu Bakar dan keluarganya untuk setiap bulannya.
Suatu ketika, istri Abu Bakar memohon kepada beliau, “Saya ingin sekali manisan.”
Beliau menjawab, “Aku tidak punya uang untuk membelinya.”
“Kalau engkau setuju, saya akan menyisihkan sedikit dari uang belanja tiap hari sehingga dalam beberapa hari uang akan terkumpul,” kata istrinya.

Abu Bakar pun mengizinkannya. Selang beberapa hari, uang terkumpul. Istrinya lalu menyerahkan uang itu kepada beliau untuk membeli bahan-bahan manisan. Beliau kemudian berkata, “Dari pengalaman ini, aku tahu, ternyata kita mendapatkan santunan berlebihan dari Baitul Mal.”

Akhirnya, uang yang sudah terkumpul itu pun dikembalikan oleh beliau ke Baitul Mal, tidak jadi dibelikan bahan-bahan manisan. Selanjutnya, Khalifah Abu Bakar meminta Baitul Mal agar memotong santunannya sebanyak yang pernah dikumpulkan istrinya setiap harinya.

Tat kala tampuk kekhalifahan jatuh ketangan Umar Bin Khattab, ia tak kalah zuhud dengan pendahulunya, Abu Bakar. Sebelum menjadi khalifah, Umar Bin Khatab adalah seorang suadagar yang mencari nafkah buat dirinya dan keuarganya dengan cara berniaga. Namun setelah menjadi khalifah waktunya habis untuk tugas kenegaraan. Ia mendapat santunan dari Baitul Mal sekedar mengongkosi dirinya dan keluarganya secara sederhana.
Dengan bergantinya waktu bertambah pulalah tanggungan dan kebutuhan hidup. Khalifah Umar menaikan gaji seluruh kaum muslimin baik yang berada didalam maupun diluar kota madinah, namun tidak terpikir oleh dirinya untuk menambah pendapatannya sepeser pun.
Pada suatu hari sampailah berita kepada para sahabatnya bahwa untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Khalifah Umar terpaksa berutang. Berkumpullah beberapa Sahabat ra., di antaranya Ali, Utsman, Zubair, dan Thalhah dalam suatu majelis untuk membicarakan usulan agar tunjangan Khalifah Umar bin al-Khaththab ditambah, karena sepertinya tunjangan itu terlalu kecil. Mereka sepakat untuk merundingkannya dengan Umar dan meminta kepadanya agar dia menaikan gaji serta tunjangannya. Namun akhirnya para sahabat mengurungkan niatnya sebab mereka sama-samaa maklum bahwa mengenai masaah ini khususnya Umar Bin Khattab adalah seorang yang amat keras dan mudah naik darah. Akhirnya, mereka bersepakat untuk meminta bantuan Hafshah, salah seorang istri Nabi saw., yang tidak lain adalah putri Khalifah Umar ra. Ummul Mukminin Hafshah kemudian menyampaikan usul tersebut kepada ayahnya, Umar ra. Mendengar itu, Khalifah Umar ra. bukannya senang; beliau tampak marah. Beliau berkata, “Siapa yang telah mengutusmu untuk mengajukan usulan itu. Seandainya aku tahu nama-nama mereka, aku akan memukul wajah-wajah mereka!”

Khalifah Umar ra. kemudian berkata, “Sekarang, ceritakan kepadaku pakaian Nabi saw. yang paling baik yang ada di rumahmu.”

“Beliau memiliki sepasang pakaian berwarna merah yang dipakai setiap hari Jumat dan ketika menerima tamu,” jawab Hafshah.

Umar bertanya lagi, “Makanan apa yang paling lezat yang pernah dimakan oleh Rasulullah saw. di rumahmu?”

“Roti yang terbuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak…,” jawab Hafshah.

“Alas tidur apa yang paling baik yang pernah digunakan Rasulullah saw. di rumahmu?” tanya Umar lagi.

“Sehelai kain, yang pada musim panas dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh untuk alas tidurnya dan separuh lagi untuk selimut,” jawab Hafshah lagi.

Khalifah Umar ra. lalu berkata, “Sekarang, pergilah. Katakan kepada mereka, Rasulullah saw. telah mencontohkan pola hidup sederhana, merasa cukup dengan apa yang ada demi meraih kebahagiaan akhirat. Aku tentu akan mengikuti teladan beliau….”

Sumber ; Milis pkpusatu
Baca selengkapnya »
0 komentar

Penginspirasi Miyamoto Musashi


Kala itu Takezo adalah seorang pria yang putus asa dan mau meninggalkan semuanya: baik pekerjaan maupun hubungan (persaudaraan/pertemanan). Ia mau berhenti hidup.

Lalu, ia pergi ke hutan untuk bicara yang terakhir kalinya dengan seorang Zen bernama Takuan. Katanya, "Apakah Takuan bisa memberiku satu alasan yang baik agar jangan berhenti hidup dan menyerah?"

Jawaban Takuan sangat mengejutkan, "Coba lihat sekitarmu, Takezo. Apakah kamu lihat pohon pakis dan bambu itu?"

"Ya," jawab Takezo. "Aku melihatnya."

"Ketika menanam benih pakis dan benih bambu, alam merawat keduanya dengan sangat baik. Alam memberi keduanya cahaya dan air. Pakis tumbuh sangat cepat di bumi, daunnya yang hijau segar menutupi permukaan tanah hutan.

Sementara itu, benih bambu tidak menghasilkan apa pun, tapi katanya, 'Aku tidak menyerah.'

Pada tahun kedua, pakis tumbuh makin segar dan banyak, tapi belum ada juga yang muncul dari benih bambu. Tapi katanya, 'Aku tidak menyerah!'

Pada tahun ketiga, bambu belum juga memunculkan sesuatu, tapi katanya, 'Aku tidak menyerah!'

Di tahun keempat, masih belum ada apapun dari benih bambu. Ia berkata, 'Aku tidak menyerah!'" demikian cerita Takuan.

Pada tahun ke-5, muncul tunas yang lebih kecil dari tunas pakis. Yah, tunas itu tampak kecil dan tidak bermakna.

Tapi 6 bulan kemudian, bambu tumbuh menjulang sampai 100 kaki (sekitar 30 meter). Rupanya, untuk menumbuhkan akar secara maksimal, perlu waktu 5 tahun. Akar ini membuat bambu kuat dan bisa memberi apa yang diperlukan bambu untuk bertahan hidup.

"Sang Pencipta tak kan memberi kita cobaan yang tak sanggup diatasi oleh ciptaan-Nya," kata Takuan kepada Takezo. "Tahukah kamu, Takezo. Saat menghadapi kesulitan dan perjuangan berat seperti ini, kau sebenarnya sedang menumbuhkan 'akar-akar' yang kuat? Alam tidak meninggalkan bambu itu. Sang Pencipta juga tidak meninggalkan kamu."

"Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain," kata Takuan. "Bambu punya tujuan yang berbeda, dibandingkan dengan pakis. Tapi keduanya membuat hutan menjadi indah. Waktu untuk Anda akan datang. Anda akan menanjak dan menjulang tinggi, asalkan tetap mengandalkan Sang Pencipta dalam setiap rencana dan jalan hidup Anda."
Demikian sepenggal percakapan Shinmen Takezo, sebelum menjadi Miyamoto Musashi (seorang samurai dan ronin yang sangat terkenal di Jepang pada Abad Pertengahan).



Oleh: Andrie Wongso
Baca selengkapnya »
0 komentar

Mengedit si Tukang Edit




Menulis adalah pekerjaan manusia, mengedit pekerjaan dewa.” (Stephen King)

Benarkah editor itu seperti dewa? Benarkah mereka tak pernah salah? Hm, sebenarnya saya tak percaya akan adanya dewa. Tapi saya bisa memahami esensi dari pendapat Stephen King.



Dulu, ketika aktif di pers kampus dan masih berstatus reporter, saya sempat berselisih dengan seorang redaktur pelaksana (redpel). Saya mengkritik hasil editan dia. Tata bahasa yang sudah benar secara EYD seperti kalimat, “Pemerintah berada di balik rencana besar itu,” diubahnya menjadi "Pemerintah berada dibalik rencana itu." Saya ngotot, mengatakan bahwa yang benar adalah “di balik”, bukan “dibalik”. Tapi dengan angkuhnya dia berkata, “Sudahlah, yang redpel itu saya, bukan kamu!” Maka, saya pun hanya diam.

Ketika giliran saya yang menjadi redpel, saya menemukan media untuk “balas dendam”. Saya seperti melihat sehamparan ladang jagung yang dipenuhi oleh rumput liar. Saya akan membabat mereka semua hingga bersih, kecuali jagungnya tentu saja. Tapi saya tetap akan mengutak-atik jagung itu. Kalau perlu, daunnya saya ganti menjadi daun jati dan bijinya dicat berwarna pink. Saya punya wewenang penuh untuk melakukan semua itu, karena kini sayalah yang jadi “dewa”.
Tapi kemudian, saya terperanjat oleh aksi protes sejumlah penulis yang marah karena saya mengobrak-abrik tulisan mereka. Saya pun mengingat lagi pengalaman pahit ketika dulu naskah saya yang diobrak-abrik. Seketika saya sadar, ternyata editor tidaklah sepenuhnya “dewa”. Editor bertugas memperbagus sebuah tulisan, bukan mempemburuk hubungan baiknya dengan para penulis. Apapun yang dilakukan oleh editor, itu haruslah bisa memuaskan semua pihak; redaksi, penulis, dan pembaca.



Maka, saya pun mencoba menjadi seorang editor yang baik, walau terkadang kekejaman saya masih terlihat juga (memang, setiap editor punya potensi menjadi orang kejam. Tak usah malu-malu wahai editor sahabatku. Akui sajalah dengan jujur!).

Kini, saya kembali menjadi manusia, meninggalkan “dunia dewa” yang amat menyenangkan (walau kini jabatan saya di kantor adalah “content editor”, pekerjaan utama saya jauh dari hal-hal yang berbau editing. Tapi setiap pertengahan bulan saya mendapat hiburan karena berkesempatan mengedit naskah-naskah “internal newsletter” milik kantor saya). Sebagai manusia, saya membuat begitu banyak kesalahan. 



Tapi saya bahagia ketika melihat tulisan saya dimuat di media tertentu, dan menemukan si redaktur berhasil menghilangkan kesalahan-kesalahan tersebut (tapi terkadang saya menyesalkan juga, karena mereka ikut menghilangkan dua atau empat paragraf karena alasan keterbatasan halaman. Tapi tak apalah, kita toh tak bisa menghindari hal-hal seperti itu).




Oleh: Jonru Ginting, 

Pengasuh dan Direktur Sekolah Menulis Online pertama dan terbaik di Indonesia
Baca selengkapnya »
0 komentar

Akhwat Pemulung


Sudah lama saya mencari artikel ini, inspirasi dari seorang akhwat (saudara muslimah), menepis semua anggapan dari beberapa kalangan yang menisbatkan sosok perempuan berjilbab yang jauh dari kerja keras. Saat itu saya berdiskusi dengan istri, insyaAllah cerita ini bisa menjadi inspirasi dan teladan bagi kita saat ini, untuk bekerja keras, dan terus bersemangat mengejar cita-cita. Tanpa menjadikan identitas kemusliman/kemuslimahan kita sebagai barier yang menghalangi proses ini.

Sambil berjalan, gadis berjubah itu memungut dan mengumpulkan plastik bekas minuman yang ditemuinya sepanjang jalan. Dia berjalan kaki sehari kurang lebih 10 km. Selama berjalan itulah, dengan menggunakan karung goni, dia memperoleh banyak plastik untuk dibawa pulang.

Orang menyebutnya ’Pemulung’ satu pekerjaan yang bagi ukuran usia remaja sangat tidak bergengsi. TAPI TIDAK BUAT MING MING. Gadis berusia 17 tahun, mahasiswi semester pertama jurusan akuntansi. Dan salah satu mahasiswa TERPANDAI di kelasnya.

Mengenakan gamis hijau, jilbab lebar dan tas ransel berwarna hitam, dia memasuki lobi Universitas Pamulang (UNPAM), Tangerang. Saat kelas usai, dia pergi ke perpustakaan.

“Ilmu sangat penting. Dengan Ilmu saya bisa memimpin diri saya. Dengan ilmu saya bisa memimpin keluarga. Dengan ilmu saya bisa memimpin bangsa. Dan dengan ilmu saya bisa memimpin dunia.” Itu asalan Ming Ming kenapa saat istirahat dia lebih senang ke perpustakaan daripada tempat lain. (keren ya…)

Sore hari setelah kuliah usai, Ming Ming menuju salah satu sudut kampus. Di sebuah ruangan kecil, dia bersama beberapa temannya mengadakan pengajian bersama. Ini adalah kegiatan rutin mereka, yang merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa di UNPAM.

Setelah itu, dia bergegas keluar dari komplek kampus. Namun dia tidak naik kendaraan umum untuk pulang. Dia lebih memilih jalan kaki ke rumahnya. Padahal jarak rumah dengan kampus lumayan jauh. Dalam perjalanan itulah, gadis bersahaja ini memunguti plastik bekas minuman tanpa rasa jengah sedikitpun. Karena dia berpikir dengan cara inilah dia bisa membantu meringankan beban ekonomi orangtuanya.

Rumah Ming Ming jauh dari kampus. Dia tinggal bersama ibu dan 6 orang adiknya yang masih kecil-kecil. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana yang mereka pinjam dari saudara mereka di Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor. Biasanya setelah berjalan hampir 10 km, untuk sampai ke rumahnya Ming Ming menumpang truk. Sopir truk yang lewat, sudah kenal denganya, sehingga mereka selalu memberi tumpangan di bak belakang.

Subhanallah, setelah truk berhenti dengan tangkas dia naik ke bak belakang lewat sisi samping yang tinggi itu. (can you imagine it?)

Ming Ming sekeluarga adalah pemulung. Dia, ibu dan adik-adiknya mengumpulkan plastik, dibersihkan kemudian dijual lagi. Dari memulung sampah inilah mereka hidup dan Ming Ming kuliah.

Ini adalah sepenggal cerita nyata yang ditayangkan dalam berita MATAHATI di DAAI TV sore tanggal 18/8/2009. Di Trans TV juga disiarkan hari selasa beberapa hari sebelumnya, di acara KEJAMNYA DUNIA. Sungguh episode yang membuat bulu kuduk kita merinding dan mata kita berkaca-kaca.

Astaghfirullah. Gimana bisa kita masih sering mengeluh hanya karena tabungan gak nambah-nambah?

OMG…. Bagaimana dia bisa berjalan 10 km perhari? Kita aja jalan 20 menit ke kantor tiap pagi dan sore sudah merasa capek banget. Lemah.

Subhanallah. Semangatnya itu loh. Kalau dengar dia berkata-kata, sepertinya tidak ada rasa minder, malu, bahkan dia sangat yakin. Oh girl, you are so great. Wonderfull.
Baca selengkapnya »
0 komentar

Antara Cangkir dan Kopi


Serombongan alumni salah satu universitas berniat datang mengunjungi guru besar dimana mereka dahulu menimba ilmu. Rata-rata dari mereka sudah tergolong sukses dan hidup mapan dalam karir masing-masing. Setelah bersepakat kumpul di suatu tempat, secara bersama-sama mendatangi professor kampus mereka yang sudah tua.

Pertemuan guru dengan murid itu terasa begitu hangat. Keakraban segera mengalir, mengungkap suka duka semasa di kampus dulu. Maka percakapan pun beralih dan mengarah pada masalah-masalah yang mereka alami sekarang. Dari keluhan seputar keluarga hingga pekerjaan yang membuat mereka stress. Demi menjaga suasana, sang professor mencoba menangkap keluhan-keluhan mantan mahasiswanya itu dengan seksama.

Tidak berapa lama, di tengah keakraban itu sang professor pergi ke dapur dan kembali dengan menawari tamu-tamunya kopi. Kopi dengan porsi besar dan cangkir yang terbuat dari berbagai jenis porselin, plastik, kristal hingga gelas biasa. Beberapa di antaranya terbilang gelas mahal dan beberapa lainnya terlihat sangat indah. Sang professor mempersilakan para mantan mahasiswanya itu ‘self service’ menuang sendiri kopinya.

Setelah semua mahasiswanya mendapat secangkir kopi di tangan, professor itu berkata : "Coba kalian perhatikan, semua cangkir yang indah dan mahal telah kalian ambil, kini yang tinggal hanyalah gelas biasa dan murah saja. Sebenarnya hal ini normal dan lumrah saja. Kalian tentu hanya menginginkan yang terbaik bagi diri kalian, tapi sebenarnya itulah yang menjadi sumber masalah dan stress yang kalian alami!"

“Pastikan bahwa cangkir itu sendiri tidak mempengaruhi kualitas kopi. Dalam banyak kasus, itu hanya lebih mahal dan dalam beberapa kasus bahkan menyembunyikan apa yang kita minum. APA YANG KALIAN INGINKAN SEBENARNYA ADALAH KOPI, BUKAN CANGKIRNYA, namun kalian secara sadar mengambil cangkir terbaik dan kemudian mulai memperhatikan cangkir orang lain.”
“Sekarang perhatikan hal ini: HATI KITA BAGAI KOPI, SEDANGKAN PEKERJAAN, UANG DAN POSISI ADALAH CANGKIRNYA. SERING KALI KARENA BERKONSENTRASI HANYA PADA CANGKIR, KITA GAGAL UNTUK MENIKMATI KOPI YANG TUHAN SEDIAKAN BAGI KITA.

Catatan: Kehidupan yang sesungguhnya adalah hati anda. Apakah anda merasa bahagia dan damai? Apakah anda mencintai dan dicintai oleh keluarga, saudara dan teman-teman anda? Apakah anda tidak berpikir buruk tentang orang lain dan tidak gampang marah? Apakah anda sabar, murah hati, bersukacita karena kebenaran, sopan dan tidak egois?

Hanya hati anda dan Tuhan yang tahu. Namun bila anda ingin menikmati kopi dan bukan cangkirnya, hal-hal yang tidak semarak ini harus lebih mengendalikan anda ketimbang hal-hal semarak seperti pekerjaan, uang dan posisi anda! 


Sumber: Epochtime.com
Baca selengkapnya »
0 komentar

Mengajar di Bukit Harapan, tanpa listrik, tanpa kendaraan


Satu lagi kisah yang menginspirasi. Kisah tentang Pengajar Muda Indonesia Mengajar bernama Mb Wiwin (Erwin Puspaningtyas Irjayanti) aka Waheeda El Humayra (alumni IPB) yang saat ini ditempatkan di Majene, Sulawesi Barat. Ini bukan kisah dari negeri dongeng, karena ia benar-benar ada.

The Old Man said, Everyday has its miracle. I am not the Old Woman, but I believe it too: EVERYDAY HAS ITS MIRACLE  "Kisah ini hadir di layar komputermu setelah seorang guru di SD terpencil berlari-lari riang selama 45 menit sembari membawa parang bersama 3 muridnya yang menggenggam bambu runcing untuk menghalau babi--jika sewaktu-waktu ketemu--menuju "Bukit Harapan", demikian bukit itu diberi nama baru-baru ini karena di bukit itu telah ditemukan sinyal GPRS. Diketik dengan penuh kesabaran di atas keyboard HP Nokia E63, inilah kisah yg ingin diceritakan oleh guru SD terpencil itu:

Tentang Rizki.
Teman-temannya, murid kelas 3, bercerita tentang dia kepada saya: anak itu, namanya Rizki. Rizki Ramlan. 9 tahun. Sejak 4 bulan belakangan, dia tak pernah berangkat ke sekolah. Tanpa alasan. Namun desas desus menyebutkan, bahwa ia malas bangun pagi. Dengan kehadirannya yang tak lebih dari 20 kali dalam 1 semester, teman2nya mengenal ia sebagai anak pandai. Rizki, ia tinggal di Tamaluppu.

Tentang Tamaluppu.
Ialah sebuah tempat yg lebih terpencil dari Passau--tempat terpencil dimana saya tinggal saat ini.

Ini adalah statistik tentang Tamaluppu (T) Vs. Passau (P).
*Jumlah rumah: 13 (T) Vs. 60 (P).
*Listrik: sama sekali tidak ada (T) Vs. genset desa dr jam 19.00-22.00 (P).
*Sinyal GSM: sama sekali tidak ada (T) Vs. Maksimal utk SMS di spot tertentu (P)
*Jarak dari jln.poros Majene-Mamuju: 6-7 km / 1,5-2 jam perjalanan (T) Vs. 3 km / 45 menit perjalanan (P).
*Dapat dicapai menggunakan: hanya dengan jalan kaki dari Passau (T) Vs. Motor, jika tidak turun hujan (P)
Tentang Ide Mengajar di Tamaluppu
Pada hari dimana saya mengemukakan ide bahwa saya ingin seminggu 2x memberi pelajaran tambahan bagi anak-anak di Tamaluppu, banyak orang menganjurkan untuk tidak usah, karena itu jauh, susah, repot. Anak2 Tamaluppu juga lebih pemalu dari anak2 super pemalu di Passau. Buat apa? Kenapa tidak menyuruh mereka saja yang ke sini utk mendapatkan pelajaran tambahan?

Saya bergeming. Hanya tersenyum dan dengan halus menjawab keberatan orang-orang, "saya akan tetap ke sana, meski sendirian."

Tentang Tamaluppu yang Saya Kenal.
Sudah tiga minggu ritual ini berjalan: Jam 3 sore, setiap Selasa dan Jumat, pergi ke Tamaluppu mengajar anak-anak di sana. Kami belajar dimana saja: di rumah Ali (murid kelas 6), di halaman langgar, di bawah pohon kelapa (yg sedang tidak berbuah). Saya mengenang Tamaluppu dalam beberapa potongan memori:

--ialah suatu tempat dimana 8 dari 63 murid saya tinggal. Yang jika hari hujam, dipastikan anak-anak itu tidak akan berangkat sekolah.

--Sebab jika hari hujan, jalan setapak yg sedianya mereka lewati berubah menjadi sungai dan air terjun.

--Anak-anak itu berangkat ke sekolah dengan membawa bambu runcing, sebab di perjalanan dari Tamaluppu menuju Passau, seringkali mereka musti berhadapan dengan babi hutan.

Antara Saya dan Rizki Ramlan
Saya tidak pernah mengenal anak itu. Menyentuhnya. Berbicara dengannya. Saya tidak mampu. Ia begitu tak tersentuh. Begitu jauh. Setiap kali saya berusaha mendekatinya sehabis saya mengajar anak2 Tamaluppu yang lain, ia selalu lari. Menjauh. Mengintai saya dari tempat yang menurutnya paling aman sedunia: persembunyiannya. Saya mengalah. Saya memilih tidak memaksa.

Hingga pada suatu sore yg berhujan deras, yg tak henti-henti sampai petang dan malam tiba, saya memutuskan untuk menerima kesopanan orangtua Ali yg menawarkan saya bermalam di rumah mereka. 
Singkatnya malam itu, Rizki yg malu-malu itu, pada suatu kesempatan saat saya habis salat isya, dari balik pintu dia melemparkan: selembar kertas yg bulat karena diremas, dua lembar, tiga lembar, sampai 6 lembar. Lalu, dia lari.

Dia berlari dan menjauh. Tak tersentuh untuk kesekian kalinya.

Saya membuka kertas2 itu. Isinya, membuat saya mematung:
Coretan soal2 matematika yg tiga minggu ini kuajarkan pada anak-anak Tamaluppu, kelas 4, kelas 6. 

Di kertas yg lain, coretan soal yg dia buat sendiri, dan dia jawab sendiri. Dan 80% jawabannya adalah benar: materi kelas 4, materi kelas 6. Rizki, kelas 3, sudah 4 bulan tidak masuk sekolah.

Aku tertegun. Mematung. 
Dalam nyala obor, aku menulis di sesobek kertas: "Pintar sekali kamu! Sekolah di mana?". Kuremas kertas itu.
Lalu keluar rumah: mencari sosoknya di kegelapan dan menemukannya sedang mengintaiku dari bawah tangga. Kulempar kertas itu di tempat yg terlihat namun agak jauh darinya, lalu pergi seolah-olah yg barusn kulempar adalah sampah.

Tak lama, dari jendela yg sengaja kubuka, masuklah segumpal kertas: 
"Tidak sekolah. Tidak ada yang diajarnya. Tidak ada gurunya."

Aku tersenyum. Benar dugaanku bahwa dia akan membalas suratku. Tanpa sempat menutup jendela, aku tertidur. Tak tahu bahwa seorang anak meringkuk di bawah jendela, menanti ada balasan atas segumpal kertas yg dilemparnya. Hanya karena dia berpikir bahwa jendela itu masih terbuka. Ketika pagi, baru aku sadar: jendela terbuka, aku melongok, menemukan tubuh kecil meringkuk di atas bangku dari bambu. Tertidur. Tangannya menggenggam kertas, dan pulpen.

Tentang suatu hari bernama Selasa, 14 Desember 2010, sekira pukul
15.30 WITAHari hampir hujan. 30 menit perjalanan dari Passau sudah saya tempuh. 15 menit lagi, saya tiba di Tamaluppu. Antara ya dan tidak, sembari menatap langit berawan pekat, saya memutuskan melanjutkan perjalanan. Tak sampai 5 menit, hujan turun. Langsung sangat deras. Saya berteduh di bawah pohon jambu mete, bersama kakak angkat saya yang juga guru sukarela, Kak Yani. Semenit, dua menit. 

Di kejauhan, di bawah butiran air yg menyamarkan pandangan mata, samar-samar kulihat sesosok bocah. Bertelanjang dada, bercelana yang warnanya seperti coklat. Parang di tangan kirinya, daun pisang di tangan kanannya. Dia mendekat. Semakin dekat dan dia menuju kami. Menuju saya. Mengulurkan daun pisang di tangan kanannya, satu untuk saya, satu untuk Kak Yani.
Aku dan Kak Yani saling bertatapan.

Aku bertanya yg segera diterjemahkan oleh Kak Yani yang intinya, "ngapain kamu di sini? Dari kebun?"
Dia tak menjawab.
Dadanya naik turun. Naik, turun. Naik, turun. Naik turun dengan cepat. Air hujan, mungkin, telah mengaburkan--jika benar--air matanya. 

Dia menangis.
Ya, dia menangis.
Lalu, dengan bahasa Mandar yg kacau, saya bertanya, "mangappai i'o sumangiq, Rizki? Mengapa kamu menangis, Rizki?"
Aku mengulurkan tangan. Meraih tubuh basan kuyupnya. Dan untuk pertama kalinya, ia diam. Tak berlari. Tak menjauh. Rizki, akhirnya, aku dapat menyentuh tubuh kecilnya.
Lalu tiba-tiba, Tiba-tiba saja, dia menyambutku. Memeluk pinggangku. Melingkarkan tangannya yang masih memegang parang di pinggangku. 
"Puang, yakkuq meloq massikola."

Dalam hujan, dia menenggelamkan kepalanya di perutku, mengalahkan derasnya suara hujan dengan suaranya, "Puang, saya mau sekolah."

Dia memelukku. Erat. 
Aku mematung. Haru. Sakit. Sesak. Bahagia. Sesak oleh perasaan bahagia.
Teringat olehku tentang pagi itu, ketika bocah itu masih meringkuk tertidur di bangku bambu bersama segenggam kertas dan pulpen, saat kuletakkan segenggam kertas di dekat kepalanya, "Pergilah ke sekolah. Aku guru di sana. Akan kuajar kau tentang rahasia-rahasia yang ingin kau tahu. Semua rahasia. Pergilah ke sekolah."
Pagi ini, 15 Desember 2010
Kebahagiaan adalah ketika dari jendela rumahm saya melihat anak-anak Tamaluppu tiba di sekolah. Ada Rizki di sana. Dengan seragam kusut robek-robeknya. Saat aku masuk halaman sekolah, ia tengah memegang raket badminton.

Saat ia kutatap, ia melengos. Pura-pura tak melihat. Dia masih malu-malu. 

Saat kudekati, ia kembali berlari.
Ia kembali menjauh.

Ia kembali tak tersentuh.

Tapi aku tahu, hari-hari esok, dia akan melemparkan bola-bola kertasnya kepadaku. Lagi. Seperti tadi siang ketika tiba-tiba ia melemparku segenggam kertas, "Kapan Tamaluppu akan mengalami musim salju seperti di Amerika?"

***
Salam hangat dari Bukit Harapan

Baca selengkapnya »

Sahabat

Artikel Terbaru

Arsip Blog